Aksi Mahasiswa Papua di Malang. |
JAKARTA,M, PACEKRIBO – Pastor John Jonga yang dipandang
sebagai rohaniawan yang banyak merekam dan menyampaikan suara rakyat Papua yang
termarginalkan, menyampaikan sindiran bahwa bagi Indonesia Papua tidak lebih
penting dari Palestina.
Ungkapan itu ia sampaikan
setelah secara panjang lebar menjelaskan berbagai pengabaian persoalan di Papua
oleh pemerintah Indonesia (terutama menyangkut pelanggaran HAM) dan pada saat
yang sama, Indonesia justru pelopor untuk menyuarakan HAM rakyat Palestina di
dalam dan di luar negeri.
Peraih Yap Thiam Hien Award
2009 itu mengungkapkan sindirannya saat menjadi salah satu pembicara pada
Seminar Nasional Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK untuk Papua, di Auditorium
LIPI, Jakarta, hari ini (18/12).
“Dalam penegakan hukum dan HAM,
pemerintah (Jokowi) sudah bentuk tim waktu zamannya Pak Luhut (Luhut
Pandjaitan, Red). Tapi sampai saat ini tidak ada bunyi. Gerakannya kayak tidak
ada apa-apa. Jadi apa yang mau diharapkan dari penegakan hukum. Satu pun tidak
ada di zaman Jokowi. Masih ada penyisiran di Nduga. Ada 4 orang yang sudah
ditembak, entah itu masih hidup atau sudah meninggal. Tetapi peristiwa ini
menambah panjang korban pelanggaran HAM di Papua. Saya kira Papua tidak lebih
penting daripada Palestina,” kata pastor bernama asli Yohanes Jonga, yang
memuji LIPI sebagai lembaga yang telah merekam dengan akurat aspirasi rakyat
Papua.
Mengawali pembicaraannya
tentang tiga tahun kebijakan pemerintahan Jokowi-JK terhadap Papua, John Jonga
mengeritik komitmen politik pemerintah untuk menyelenggarakan dialog
Jakarta-Papua, sebagaimana yang diusulkan oleh LIPI. “Komitmen politik
pemerintah RI memang sudah jelas. Bahkan didengungkan di PBB. Tetapi komitmen
yang jelas itu tidak ada realitasnya. Sampai saat ini omong tentang dialog
tidak ada. Apakah waktu Pak Jokowi datang ke Papua lalu tanya 3-4 orang,
kemudian orang itu menjawab dan diberi hadiah, apa itu dialog?” tanya pria yang
sudah bertugas di Papua sejak tahun 1985.
“Apakah dialog yang dimaksud
adalah hasil kunjungan untuk mengangkat dan mendengar keprihatinan dan di Tanah
Papua? Saya ikuti betul setiap kali kunjungan Presiden ke Papua. Karena salah
satu distrik di tempat saya 100 persen memilih Jokowi. Ini contoh, saya hanya
mengangkat realitas yang ada. Soal satu harga BBM. Begitu Jokowi pulang
(setelah mengunjungi Papua), satu dua minggu kemudian harga BBM kembali ‘harga
normal.’ Lalu siapa yang monitoring ini. Sementara bupatinya lebih banyak di
Jakarta dan di Jayapura,” kata pria yang pernah diancam akan dikubur
hidup-hidup di dalam tanah sedalam 700 meter tatkala membela korban penembakan
aparat di Papua.
“Kami di Papua sekarang hutan
sagu sudah habis. Di Riau, ada provinsi sagu. Sementara di Papua sagu dibakar,
jenis kebijakan apa ini?. Bagaimana jutaan ha tanah di Merauke sebelumnya
menghasilkan sagu, sudah dibabat, dan tidak tahu tanam apa?.”
Ia juga menjelaskan berbagai
ironi dan kesenjangan opini yang dibangun oleh pemerintah dengan realitas yang
ada. “Soal pemenuhan hak-hak dasar bagi masyarakat Papua. Ini ngeri sekali.
Pemerintah mengatakan sudah 2,8 juta penduduk yang menerima Kartu Indonesia
Sehat. Dikatakan juga bahwa anak-anak juga sudah mendapatkan manfaat dari Kartu
Indonesia Pintar. Realitas di lapangan, kami melihat, tidak ada program kesehatan
dijalankan di kampung-kampung bagi orang Papua. Di sebuah distrik, ada 68 orang
meninggal karena sejak lahir tidak diimunisasi. Petugas Puskesmas tidak ada.
Obat juga sudah kadaluwarsa,” kata dia.
“Kami merasakan sekolah itu
hanya nama. Gurunya tidak ada. Waktu kenaikan kelas baru gurunya datang. Semua
orang tahu itu. Menteri tahu.”
“Semua solusi atas masalah
Papua ada di Papua. Tetapi orang Papua sering dicap sebagai pro Papua merdeka.
Ketika teman saya almarhum Muridan (peneliti LIPI tentang Papua) sakit di
Depok, saya pergi membesuknya dan saya katakan, Aduh Mas, kita punya persoalan.
Saya membuat surat kepada Pak SBY, situasi sosial yang harus ditangani negara.
Tetapi tidak sampai. Pada 16 Juli saya membawa surat kepada Kantor Staf
Kepresidenan (KSP), ada 5 halaman. Tidak sampai juga. “
Menurut dia, instansi lokal di
Papua juga saat ini hanya jadi simbol. Ada banyak orang Papua omong tentang
Otsus tetapi dana Otsus itu tak ubahnya seperti apa yang mama-mama di Biak
katakan, bahwa uang Otsus itu seperti melihat pemandangan awan di puncak
gunung. “Siapa yang bisa menangkapnya?”
Tentang akses jurnalis asing ke
Papua juga ia tunjukkan realitasnya. Jika pemerintah mengatakan akses jurnalis
asing ke Papua sudah dibuka, “Saya tidak pernah lihat yang namanya jurnalis
asing. Pak Jokowi waktu datang ke Papua pernah mengatakan, ‘Mulai sekarang
jurnalis asing bebas masuk Papua.’Tetapi, sampai sekarang mereka belum ada yang
datang.”
Sebagai kesimpulan, John Jonga
mengatakan ada jarak yang terlalu jauh antara komitmen pemerintah dengan
kenyataan. Menurut dia, kebijakan pemerintah sepatutnya mendengarkan aspirasi
masyarakat dan berlandaskan data di lapangan. “Pasar Mama Mama yang dicanangkan
Jokowi pembangunannya, sampai sekarang belum apa-apa. Apa yang dirancang di Papua,
diubah lagi di Jakarta. Pasar Mama-Mama di Papua sesungguhnya tidak perlu
berlantai dua atau tiga. Mama-mama hanya ingin tempat duduk di lantai. Kita
lihat saja, kaca di lantai dua dan tiga itu mungkin akan hilang,” kata dia.
“Semua solusi atas masalah
Papua ada di Papua. Tetapi orang Papua sering dicap sebagai pro Papua merdeka.
Ketika teman saya almarhum Muridan (peneliti LIPI tentang Papua) sakit di
Depok, saya pergi membesuknya dan saya katakan, Aduh Mas, kita punya persoalan.
Saya membuat surat kepada Pak SBY, situasi sosial yang harus ditangani negara.
Tetapi tidak sampai. Pada 16 Juli saya membawa surat kepada Kantor Staf
Kepresidenan (KSP), ada 5 halaman. Tidak sampai juga. “
Menurut dia, instansi lokal di
Papua juga saat ini hanya jadi simbol. Ada banyak orang Papua omong tentang
Otsus tetapi dana Otsus itu tak ubahnya seperti apa yang mama-mama di Biak
katakan, bahwa uang Otsus itu seperti melihat pemandangan awan di puncak
gunung. “Siapa yang bisa menangkapnya?”
Tentang akses jurnalis asing ke
Papua juga ia tunjukkan realitasnya. Jika pemerintah mengatakan akses jurnalis
asing ke Papua sudah dibuka, “Saya tidak pernah lihat yang namanya jurnalis
asing. Pak Jokowi waktu datang ke Papua pernah mengatakan, ‘Mulai sekarang
jurnalis asing bebas masuk Papua.’Tetapi, sampai sekarang mereka belum ada yang
datang.”
Sebagai kesimpulan, John Jonga
mengatakan ada jarak yang terlalu jauh antara komitmen pemerintah dengan
kenyataan. Menurut dia, kebijakan pemerintah sepatutnya mendengarkan aspirasi
masyarakat dan berlandaskan data di lapangan. “Pasar Mama Mama yang dicanangkan
Jokowi pembangunannya, sampai sekarang belum apa-apa. Apa yang dirancang di
Papua, diubah lagi di Jakarta. Pasar Mama-Mama di Papua sesungguhnya tidak
perlu berlantai dua atau tiga. Mama-mama hanya ingin tempat duduk di lantai.
Kita lihat saja, kaca di lantai dua dan tiga itu mungkin akan hilang,” kata dia.
Sumber : http://www.satuharapan.com.
Editor : Nuken/MW
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.