Gaya hidup masyarakat wamena |
WAMENA,
PACEKRIBO -
Mengenal Wamena, mutiara hitam di bumu. Karakteristik Bumi Papua yang dihuni
oleh penduduk asli yang berkulit gelap, membuatnya dijuluki mutiara hitam. Kalau
di Raja Ampat terkenal akan lautnya, maka Wamena terkenal akan budaya dan
penduduknya. Mari berkenalan!
Berbeda
dengan kota-kota besar lainnya di Papua seperti Jayapura, Timika, Manokwari,
Sorong, dan Merauke yang terletak di daerah pantai atau teluk, Kota Wamena
(ibukota Kabupaten Jayawijaya) terletak di Lembah Baliem. Dialiri oleh Sungai
Baliem, serta diapit pegunungan Jayawijaya.
Tipenya
serupa dengan Kota Bandung yang juga merupakan kota disebuah lembah dan
dikelilingi pegunungan, hanya saja Wamena terletak di daerah pegunungan yang
lebih tinggi. Oleh sebab itu, kota Wamena hanya bisa dijangkau dengan
menggunakan transportasi udara. Jalan darat masih belum layak. Kalau pun
melalui jalan darat, butuh waktu yang cukup lama.
Kebutuhan
akan layanan transportasi udara yang memadai sebagai transportasi utama, tidak
terpenuhi dengan baik. Kondisi bandara masih seadanya (karena di awal tahun
2013 terjadi pembakaran airport oleh massa), dan ketersediaan layanan
penerbangan yang minim.
Secara
resmi, penerbangan reguler ke Wamena hanya dilayani oleh Trigana Air. Adapun
Susi Air hanya membuka penerbangan di waktu-waktu tertentu. Beberapa lembaga
sosial keagamaan, seperti MAF (Mission Aviation Fellowship) dan AMA (Associated
Mission Aviation) yang membuka penerbangan yang sifatnya perbantuan, selain itu
masyarakat umumnya melakukan carter pesawat.
Keterbatasan
sarana transportasi tersebut sangat mempempengaruhi berbagai aktivitas
perekonomian, termasuk sektor pariwisata. Sektor unggulan Kabupaten Jayawijaya
adalah sektor pertanian yang menghasilkan ubi jalar, ketela, sayur-sayuran,
serta kopi Arabika yang mulai dikembangkan.
Selain
sektor pertanian, sektor pariwisata juga sebenarnya dapat dijadikan sektor
penopang perekonomian daerah, tetapi sayangnya belum ada perhatian pemerintah
daerah secara konsisten dalam rangka pengelolaan dan pengembangan sektor
tersebut.
Masyarakat
Wamena sebenarnya sudah sadar bahwa mereka memiliki potensi wisata. Mereka tahu
bahwa banyak wisatawan, baik lokal maupun internasional yang berkunjung ingin
mengetahui adat-budaya mereka. Tetapi yang saya lihat, mereka tidak dibekali
dengan informasi memadai mengenai bagaimana sebaiknya menghadapi wisatawan oleh
pihak yang berwenang.
Sebagian
dari mereka cenderung hanya berorientasi pada uang. Mindset mereka adalah,
Papua merupakan tanah leluhur mereka, sehingga mereka berhak atas apapun di
tanah tersebut, termasuk memungut ‘iuran’ untuk masuk daerah wisata, untuk
mengambil foto, maupun tanpa alasan sekali pun alias meminta-minta.
Hal
tersebut saya alami saat berkunjung ke Pasar Jibama. Saya baru mengeluarkan
kamera pocket dan membidik untuk mengambil gambar, ‘mama-mama’ di pasar
tersebut langsung berteriak’ bayar, bayar!’ Untungnya saya mengambil gambar
tidak menggunakan flash. Sehingga saya berbohong pada mereka bahwa saya tidak
jadi mengambil gambar karena kamera rusak tidak keluar flash. Saya pun berhasil
terhindar dari ‘palakan’ mereka.
Tidak
hanya itu, saat saya berkunjung ke lokasi penyimpanan Mumi Wim Motok Mabel di
Kampung Wisata Sompaima Distrik Kurulu, sekitar 17 km dari Wamena, masyarakat
begitu antusias datang menghampiri saya untuk berfoto. Ternyata setelah foto,
mereka minta dibayar kisaran 10-20 ribu/orang, tidak hanya orang dewasa, tetapi
juga anak-anak.
Jika
ingin berfoto dengan masyarakat yang berpakaian adat lengkap, maka kita perlu
siapkan uang Rp 50 ribu. Untuk melihat mumi (mumi disimpan di dalam honai alias
rumah adat Suku Dani, dan akan dikeluarkan jika kita telah membayar sejumlah
uang) pada saat itu saya mengeluarkan uang Rp 200 ribu.
Selain
berkunjung ke Kurulu, saya juga sempat mampir di Bukit Pasir Putih, sekitar 7
km dari Kurulu ke arah kota Wamena. Sama seperti di lokasi penyimpanan mumi,
tidak ada pos petugas tempat wisata untuk menarik retribusi, yang ada hanya
masyarakat sekitar yang menarik retribusi tidak resmi.
Tetapi,
mutiara tetaplah mutiara. Meskipun hitam, eksotismenya tidak bisa dipungkiri.
Tidak kalah dengan Raja Ampat. Pemandangan alam khas pegunungan yang begitu
asri, serta keunikan budaya suku-suku asli wamena (Suku Dani, Lani dan Yali)
yang tersaji di Festival Lembah Baliem. Masih ada pula anak-anak muda rajin
bersekolah dan bekerja keras sebagai penarik becak (persis seperti yang
divisualisasikan dalam film aku cinta wamena).
Semakin
penasaran ke Wamena? Persiapkan dahulu isi kantong yang cukup tebal, karena
selain biaya foto dan retribusi tidak resmi yang saya ceritakan diatas, biaya
transportasi, akomodasi, makan, dan minum juga cukup menguras kantong. Karena
harga jual barang dan jasa cukup tinggi diakibatkan oleh tingginya biaya
pengangkutan.
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.