Dr.Yoman |
JAYAPURA,
MAJALAHWEKO - Nama Socratez Sofyan Yoman tidak asing
lagi bagi mereka yang tekun mengikuti isu-isu Papua. Ketua Umum Badan Pelayan
Pusat (BPP) Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP) ini adalah sosok yang
selalu bersuara kritis tentang ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Papua
sejak berintegrasi dengan Indonesia.
Ia penyeru tiada henti agar
diadakan dialog setara antara Jakarta-Papua dengan mediasi pihak ketiga. Ia
telah menulis sejumlah buku yang mengungkap apa yang ia nilai kekeliruan
sejarah yang berlanjut menjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), diskriminasi,
dan stigma negatif pada orang-orang Papua.
Ia sendiri mengakui bahwa
pandangan-pandangannya sering bertentangan dengan kebijakan negara. Dan ia
tidak pernah khawatir soal itu. Ia menolak keras pemberian stigma sebagai OPM,
separatis dan makar kepada orang-orang Papua. Dan itu yang ingin
dilawannya.
"Saya baru akan diam
dan berhenti melawan kalau ada yang menunjukkan kepada saya bahwa dalam
Alkitab, Firman Tuhan, ada tertulis bahwa umat Tuhan di Tanah Papua diciptakan
sebagai OPM, separatis dan makar," tulis dia dalam pendahuluan salah satu
buku yang ditulisnya.
Kendati pendapat-pendapatnya
sangat sering bertentangan dengan kebijakan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), dalam soal kerukunan beragama ia adalah sosok yang tegas dan tak mau kompromi.
Ia menentang keras pengkotak-kotakan manusia berdasarkan agama. Salah
satu pendapatnya yang terbaru adalah mengenai terorisme, terkait dengan
serangkaian bom bunuh diri di Surabaya dan tertangkapnya terduga teroris di
berbagai kota.
Agaknya pria bernama asli
Ambirek Godmend Ekmban Yoman ini mencermati juga munculnya pandangan-pandangan
yang menghubungkan terorisme dengan agama. Dan sebagai rohaniawan Kristen,
rupanya dia merasa terganggu bila wacana tentang terorisme mengarah pada
memojokkan agama tertentu.
"Teroris itu tidak ada
relasi dengan agama Islam dan agama Kristen. Kedua agama ini mengajarkan
tentang Tuhan, kasih, kebenaran, keadilan, kedamaian, dan pengharapan,"
demikian ia berkata dalam sebuah tulisan yang ia sebarkan lewat akun WA-nya (18/05/2018).
Secara berkala --
kadang-kadang lebih dari satu kali dalam sehari -- Socratez Yoman memang
mengirimkan tulisan-tulisannya di grup-grup WA yang dia ikuti. Ia banyak
memberi pendapat tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi perhatian masyarakat.
"Kalau ada orang yang
mengatakan agama Islam teroris, itu penilaian yang sangat keliru. Yang
saya mengerti ialah orang-orangnya yang salah menafsirkan iman mereka,"
lanjut dia.
Menurut dia, manusia tidak
perlu melukai dan mencederai hati, pikiran dan tubuh sesama hanya karena beda
iman dan beda ideologi.
Socratez Yoman cukup dekat
dengan sejumlah tokoh pemerintah dan militer di Papua. Pengalamannya bergaul
dengan mereka, menggambarkan betapa pun ada perbedaan pandangan di antara
mereka, hal itu tidak membuat hubungan mereka renggang atau terputus.
Ia memberikan testimoni
demikian:
"Pengalaman saya dulu
waktu Pak Tito Karnavian menjadi Kapolda Papua. Beliau Muslim dan saya Kristen.
Beliau pengawal dan penjaga NKRI dan saya lebih berpihak pada rakyat West Papua
yang berjuang untuk demi masa depan yang lebih baik dan damai.
Saya sering kirim tulisan
dengan tegas dan keras dan terkesan kasar. Beliau tanggapi dengan cara-cara
cerdas dan elegan.
Pada suatu ketika ada
penerimaan anggota polisi. Saya minta beliau perhatikan anak teman saya dari
Tanimbar yang ikut tes. Beliau sms saya, 'Pak Pendeta Socratez, kalau kesehatan
dan psikologinya lulus, itu atensi utama saya.'
Akhirnya, anak itu diterima
dan lulusan terbaik urusan kedua. Anak yang sama, orang tuanya datang kepada
saya supaya saya minta pak Kapolda mutasikan anaknya dari Polres Timika
ke Jayapura dengan tujuan ijin kuliah.
Saya minta Pak Kapolda Papua
sekarang, Pak Boy. Beliau perintahkan untuk mutasikan anggota ini ke
Jayapura."
Menurut Socratez,
persahabatan harus melampaui perbedaan apa pun, termasuk perbedaan ideologi dan
iman. Begini ia menulis:
"Kalau kita ikuti,
setiap artikel saya selalu kritis dan mengkritisi pemerintah/Negara dan anggota
TNI/Polri. Artikel-artikel saya hampir bertentangan dengan Negara.
Pertanyaan ialah apakah
hanya karena beda iman dan ideologi diantara kita, kita menjauhkan dan merusak
sahabat kita dan merusak solidaritas?
Beda iman dan ideologi bukan
halangan, bukan hambatan, bukan rintangan untuk menghormati dan menghargai
martabat sesama kita dalam spirit solidaritas. Agamamu bukan agamaku dan
ideologimu bukan ideologiku.
Tetapi, kita adalah sesama
manusia yang Tuhan hadirkan melalui kedua orang tua kita masing-masing untuk
menjadi berkat dan penolong bagi sesama kita tanpa membedakan iman,
keyakinan, agama, ras dan etnis."
Hubungan baiknya dengan
Kapolri dan Kapolda Papua, menurut dia, menjadi cermin bahwa beda iman dan
ideologi tidak akan bisa mengalahkan nurani ketulusan, kejujuran, dan kasih
yang diajarkan Tuhan.
"Kita lihat kejahatan
Amerika di Irak, pada saat gulingkan Sadam Hussein. Apakah di Irak ada
produksi senjata pemusnah massal yang dituduhkan Amerika?
Jawabannya ialah tidak.
Kalau begitu motivasi dan apa misi utama George Bush di Irak? Minyak. Apakh ini
bukan tindakan sama seperti teroris?
Agama Islam bukan Teroris.
Yang teroris adalah manusia-manusia yang beragama Kristen dan Islam.
Mari, kita melawan
orang-orang teroris bukan melawan agamanya."
Di balik nada bicara dan
tulisan-tulisannya yang keras, terbungkus pesan-pesan kerukunan di tengah
perbedaan iman. Ketika dua tahun lalu di Jayapura sempat terjadi kericuhan
karena insiden yang diduga merupakan pembakaran Alkitab oleh oknum aparat
keamanan, Socratez Yoman tampil memberi kesejukan.
Ada yang menganggap
peristiwa itu melukai perasaan umat dan merupakan salah satu bentuk penistaan
agama. Tetapi Socratez Yoman justru menyerukan pengampunan.
"Orang Kristen tidak
menyembah Alkitab, tetapi percaya dan menyembah Tuhan Yesus yang disampaikan
melalui Alkitab itu," kata Socratez Yoman.
"Alkitab itu tidak
perlu dibela. Kita diajarkan isi Alkitab untuk mengasihi dan mengampuni."
Dia menambahkan bahwa Alkitab dibakar tidak akan membuat kuasa Tuhan
turut runtuh. "Kita hidup bukan untuk membela-bela Kitab Suci atau
Alkitab. Kita diminta dan diajarkan melalui Alkitab untuk mengasihi musuh dan
memperjuangkan keadilan dan menegakkan kebenaran demi perdamaian."
Socratez Sofyan Yoman
menyelesaikan studi di Program Studi Bahasa Inggris di FKIP Universitas
Cendrawasih pada 1994 dan menyelesaikan studi S2 dan S3 di Sekolah Tinggi
Teologi Walter Post, Jayapura. Buku-buku karyanya, antara lain Rakyat Papua
Bukan Separatis (1999), Pintu Menuju Papua Merdeka (2000), Pepera di
Papua Barat Tidak Demokratis (2000), Orang Papua Bukan Separatis, Makar
dan OPM (2005), Pemusnahan Etnik Melanesia (2007), Suara Gereja bagi Umat
Tertindas (2008), Suara bagi Kaum Tidak Bersuara (2010), Kita Meminum Air dari
Sumur Kita Sendiri (2010 dan OPM (Otonomi Pemekaran dan Merdeka) (2010).
Tentang buku-bukunya,
Socratez mengatakan dirinya memiliki kerinduan "untuk menunjukkan
bukti-bukti sejarah, janji-janji pemerintah, dan berbagai macam kekejaman,
kekerasan, eksploitasi serta diskriminasi yang tidak pada tempatnya yang telah
terjadi sejak 19 Desember 1961 sampai dalam era demokrasi, globalisasi dan
informasi dewasa ini. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa bukan saatnya lagi
umat Tuhan ditindas dengan stigma-stiga separatis, makar dan OPM."
Ikrar Nusa Bakti, peneliti
LIPI, yang saat ini menjadi dutabesar Indonesia untuk Tunisia, menilai apa yang
disuarakan oleh Socratez Yoman tidak terlepas dari sosoknya sebagai gembala
umat yang menyuarakan suara-suara dari mereka yang tidak bersuara.
"Papua memang berbeda
dengan wilayah berpenduduk mayoritas Kristen lainnya di Indonesia. Di Papua,
tokoh-tokoh gereja adalah juga politisi yang aktif menyuarakan nasib
umatnya.
Mungkin, sekali lagi
mungkin, para rohaniawan di Papua melihat bahwa menyuarakan kesedihan dan
harapan bagi masa depan politik orang Papua adalah juga bagian dari melayani
umat," tulis dia dalam kata pengantar untuk buku karya Socratez, OPM
(Otonomi, Pemekaran dan Merdeka).
Keunikan lain dari Papua,
menurut Ikrar Nusa Bakti, adalah kerukunan umat beragama.
"Pada sekitar tahun
1960-an di dekat Markas TNI AL di Soridoi, Biak, saat itu kami anak-anak Muslim
sedang berkonvoi kendaraan takbiran karena esok adalah hari raya Idul Fitri.
Saat hendak mendekati sebuah gereja, koordinator meminta kami sesaat hening
karena akan melewati gereja yang juga sedang mengadakan kebaktian menjelang
Natal.
Apa yang terjadi kemudian
sungguh mengharukan: umat Kristiani menyambut kami dan menyatakan lanjutan
takbir yang menyuarakan asma Allah. Betapa cantiknya kerukunan umat beragama di
Papua saat itu, yang saya yakin masih terjaga sampai saat ini."
Penulis: Dr.Ndumma Socratez
S.Yoman. M.A
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.