Protes Aliansi Mahasiswa Papua di Yogyakarta. (Ulet Ifansasti/Getty Images)
|
JAKARTA, PACEKRIBO - Ketua
Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi menilai Badan
Intelijen Negara (BIN) tidak bisa menyamakan Aceh dan Papua dalam hal
penanganan kelompok separatis. Pasalnya, kondisi di Aceh dan Papua jauh berbeda
sehingga penanganannya tidak bisa disamakan.
"Berbeda dengan Aceh, di Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak ada tokoh yang bisa diajak berdialog dengan pemerintah. Di Papua, siapa yang bisa diajak bicara? Tidak ada," kata Muradi, Senin (4/1).
Belum lagi, kata Muradi, tiap-tiap kelompok separatis di Papua punya tujuan yang berbeda. Kelompok separatis yang bermukim di pegunungan, misalnya, punya mimpi yang berbeda dengan kelompok separatis yang bermukim di wilayah pesisir.
Muradi
mengatakan ada dua pendekatan yang bisa dilakukan pemerintah terhadap
kelompok-kelompok separatis. Pertama, adalah dengan tetap memandang mereka
sebagai kelompok separatis. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan aktif
melakukan dialog. Ketika ada konflik, tentara yang akan dilibatkan.
Kedua, pendekatan dengan memandang kelompok separatis tersebut sebagai masyarakat sipil bersenjata. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan hukum dan memandang mereka sebagai pelaku kriminal. Oleh karena itu, polisi dan brimob yang akan dilibatkan.
Kedua, pendekatan dengan memandang kelompok separatis tersebut sebagai masyarakat sipil bersenjata. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan hukum dan memandang mereka sebagai pelaku kriminal. Oleh karena itu, polisi dan brimob yang akan dilibatkan.
Muradi
menilai selama ini pemerintah Indonesia telah melakukan pendekatan kedua, baik
di Aceh dan Papua. Oleh karena itu, ia menilai Kepala BIN Sutiyoso sebaiknya
menyamakan "irama" pendekatan dengan kepolisian dan TNI.
"Menurut saya, pernyataan Sutiyoso yang ingin melakukan pendekatan lunak ke pimpinan OPM adalah salah satu strategi BIN mencari celah untuk meredakan ketegangan di Papua. Di luar itu, selama ini pendekatan pemerintah adalah memandang kelompok separatis sebagaia masyarakat sipil bersenjata," kata Muradi.
Ia menilai pendekatan demikian sudah dilakukan oleh banyak negara lain, seperti Turki, Malaysia, dan Thailand. Pendekatan ini juga dilakukan untuk menutup "pintu" bagi pihak asing yang ingin terlibat dalam pergerakan separatisme.
"Ini masalah strategi, supaya bisa memutus jaringan internasional yang mau masuk ikut campur. Presiden Joko Widodo juga selama ini telah melakukan tiga pendekatan untuk meredam konflik di Papua," katanya.
"Menurut saya, pernyataan Sutiyoso yang ingin melakukan pendekatan lunak ke pimpinan OPM adalah salah satu strategi BIN mencari celah untuk meredakan ketegangan di Papua. Di luar itu, selama ini pendekatan pemerintah adalah memandang kelompok separatis sebagaia masyarakat sipil bersenjata," kata Muradi.
Ia menilai pendekatan demikian sudah dilakukan oleh banyak negara lain, seperti Turki, Malaysia, dan Thailand. Pendekatan ini juga dilakukan untuk menutup "pintu" bagi pihak asing yang ingin terlibat dalam pergerakan separatisme.
"Ini masalah strategi, supaya bisa memutus jaringan internasional yang mau masuk ikut campur. Presiden Joko Widodo juga selama ini telah melakukan tiga pendekatan untuk meredam konflik di Papua," katanya.
Muradi
menjelaskan tiga pendekatan tersebut, di antaranya: pembangunan, keamanan, dan
dialog. Muradi menilai Jokowi telah mulai memprioritaskan pembangunan di Papua.
Soal keamanan, pemerintahan Jokowi dinilai sudah tidak lagi melihat kelompok
separartisme sebagai simbol perlawanan, melainkan sebagai kelompok sipil
bersenjata.
"Dialog juga sudah dilakukan. Belakangan, jurnalis asing juga sudah bisa masuk Papua. Saya pikir kalau pembangunan Papua sudah maju, rakyat Papua juga akan enggan melepaskan diri dari NKRI," katanya.
Lebih lanjut, Muradi menilai saat ini tidak ada potensi Papua memerdekakan diri, dari dalam negeri. Namun, potensi adanya pergerakan dari luar negeri masih ada.
"Oleh karena itu, BIN seharusnya melakukan diplomasi di luar negeri secara tertutup. BIN pasti punya atase di luar negeri," ujarnya.
"Dialog juga sudah dilakukan. Belakangan, jurnalis asing juga sudah bisa masuk Papua. Saya pikir kalau pembangunan Papua sudah maju, rakyat Papua juga akan enggan melepaskan diri dari NKRI," katanya.
Lebih lanjut, Muradi menilai saat ini tidak ada potensi Papua memerdekakan diri, dari dalam negeri. Namun, potensi adanya pergerakan dari luar negeri masih ada.
"Oleh karena itu, BIN seharusnya melakukan diplomasi di luar negeri secara tertutup. BIN pasti punya atase di luar negeri," ujarnya.
Seperti
diberitakan sebelumnya, Benny Wenda, pemimpin Gerakan Pembebasan Papua yang
dituding Kapolri menjadi dalang penyerangan Polsek Sinak, menolak bekerja sama
dengan BIN.
BIN sebelumnya berencana melakukan “pendekatan lunak” terhadapnya, seperti yang juga dilakukan terhadap mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka Din Minimi.
Benny juga mengkritik perkataan Kepala BIN Sutiyoso yang menyebut jika dia menolak bekerja sama, BIN akan menyiapkan “pendekatan lain” yang hingga kini masih rahasia dan tidak dapat diungkapkan. Benny menganggap ucapan itu sebagai ancaman. (CNN Indonesia)
BIN sebelumnya berencana melakukan “pendekatan lunak” terhadapnya, seperti yang juga dilakukan terhadap mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka Din Minimi.
Benny juga mengkritik perkataan Kepala BIN Sutiyoso yang menyebut jika dia menolak bekerja sama, BIN akan menyiapkan “pendekatan lain” yang hingga kini masih rahasia dan tidak dapat diungkapkan. Benny menganggap ucapan itu sebagai ancaman. (CNN Indonesia)