Asrama Mahasiswa Papua "Kamasan I" Jogyakarta (Foto Ils) |
“Sa
sadar ini tra dikehendaki Tuhan. Selama ini di kampus sa biasa didiskriminasi
oleh teman-teman. Sa berusaha menyesuaikan diri semaksimal mungkin, tetapi
dorang selalu saja anggap sa agak berbeda. Mungkin karena sa pu rambut dan
kulit lain, jadi dorang bersikap demikian? Biar sudah, sa percaya Tuhan tra
begitu sama sa.”
JOGJA,
PACEKRIBO - Saya ingin mengawali dengan paham diskriminasi. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata diskriminasi adalah pembedaan
perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan,
suku, ekonomi, agama, dsb).
Pun pengertian
Bhinneka Tunggal Ika. Wikipedia memperlihatkan dengan jelas bahwa Bhinneka
Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa
Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi
tetap satu”.
Semboyan ini juga,
katanya digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri atas beraneka ragam budaya,
bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Tetapi, kenyataannya?
Di Indonesia, terlebih di kota-kota studi masih terdapat yang namanya diskriminasi,
stigma sebagai kaum separatis, dan lain sebagainya.
Ia menjawab dengan
benar dan tepat. Tetapi teman-temannya bahkan dosennya, menertawakan. Tidak
tahu. Mungkin karena cara dia bertutur atau apa. Yang jelas bahwa ini juga
merupakan bagian dari yang namanya diskriminasi.
Di kampus, biasanya
para dosen memberikan tanggung jawab ke salah satu mahasiswa untuk
mengkoordinir teman-temannya dalam suatu kelompok. Pada saat itu, jarang sekali
tanggung jawab itu diberikan kepada anak-anak Papua.
Oleh Teman Saat
Bentuk Kelompok Kerja Tugas
Ini yang kadang
membuat kami anak-anak Papua marah dan nyaris bertindak keras.
Mana buktinya?
Di hampir semua kota
studi, sebenarnya sudah disediakan kontrakan atau asrama oleh masing-masing
Pemda Kabupaten/Kota, juga Pemerintah Provinsi. Namun kadang karena
membludaknya jumlah mahasiswa-mahasiswi, sebagian lainnya memilih mencari kost.
Mencari kost memang
sulit. Biasanya ada saja kendalanya. Ya, mahasiswa atau mahasiswi Papua selalu
saja ditolak. Pasti terdengar aneka alasan. Seperti, “Maaf kost ini sudah penuh penghuninya.”
Dan sebagainya. Padahal di kost tersebut sebenarnya masih ada tempat/kamar
untuk ditempati. Tetapi begitulah.
Anggapan pemilik kost
tentang yang ini, tidak saya salahkan. Mungkin mereka punya pengalaman sebelumnya.
Masih trauma. Boleh jadi karena sebelumnya anak Papua pernah bikin masalah yang
tentunya tak menyenangkan hati sang pemilik kost, sehingga kemudian berlaku
demikian.
Dicap Kaum Separatis
Sejauh saya amati, di
hampir setiap kota studi telah dibentuk Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Perhimpunan ini digawangi oleh mahasiswa-mahasiswi yang haus akan kebebasan.
Mereka yang tergabung dalam wadah AMP senantiasa bertugas membela, menyuarakan
dan memperjuangkan hak-hak Orang Papua.
Kami sadar dan akui
bahwa kami juga bagian dari NKRI. Mengapa kami diperlakukan begini? Saya
curahkan ini sesuai kondisi riil yang sudah dan sedang terjadi. Bukan bermaksud
untuk memunculnya perpecahan, pengkotak-kotakkan, dan lain sebagainya.
Sebelum mengakhiri
tulisan singkat ini, saya pikir kalau memang “Bhinneka Tunggal Ika” yang
katanya berbeda-beda tetapi tetap satu itu disingsing saja, toh tidak ada
penerapannya antarsesama di dalam kehidupan bermasyarakat nusantara.
Penulis adalah
Mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Editor: Noken.