Berita Kini

Seandainya Saya Pun Orang Jawa

Asrama Mahasiswa Papua "Kamasan I" Jogyakarta (Foto Ils)
“Sa sadar ini tra dikehendaki Tuhan. Selama ini di kampus sa biasa didiskriminasi oleh teman-teman. Sa berusaha menyesuaikan diri semaksimal mungkin, tetapi dorang selalu saja anggap sa agak berbeda. Mungkin karena sa pu rambut dan kulit lain, jadi dorang bersikap demikian? Biar sudah, sa percaya Tuhan tra begitu sama sa.”

Oleh: Herman E. Degei
JOGJA, PACEKRIBO - Saya ingin mengawali dengan paham diskriminasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb).

Pun pengertian Bhinneka Tunggal Ika. Wikipedia memperlihatkan dengan jelas bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Semboyan ini juga, katanya digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Terlalu indah. Bahkan saya pikir Indonesia ini akan menjadi surga kedua jika de jure dan de facto dari semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” itu sendiri bagus dalam penerapannya.

Tetapi, kenyataannya? Di Indonesia, terlebih di kota-kota studi masih terdapat yang namanya diskriminasi, stigma sebagai kaum separatis, dan lain sebagainya.

Saya tak lupa dengan apa yang pernah dinarasikan oleh teman perempuan saya. Katanya, saat itu dosen sedang menyampaikan materi dan bertanya kepada para mahasiswa. Saat itu teman saya mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaan sang dosen.

Ia menjawab dengan benar dan tepat. Tetapi teman-temannya bahkan dosennya, menertawakan. Tidak tahu. Mungkin karena cara dia bertutur atau apa. Yang jelas bahwa ini juga merupakan bagian dari yang namanya diskriminasi.

Pun, ketika meminjamkan barang, kerja bareng tugas dari kampus, bergaul, penawaran tempat tinggal sementara atau kost, dan sebagainya. Di sana selalu saja ada situasi yang tak pernah luput dari yang namanya diskriminasi. Beradabkah ini semua?

Di jajaran pemerintahan dan kehidupan sosial lainnya pun banyak terjadi, tetapi saya tidak ingin beberkan itu lebih lanjut. Karena saya mahasiswa, dalam tulisan ini saya mau fokus hanya soal kemahasiswaan dan lingkungannya.

Berikut adalah beberapa tingkah laku beraroma diskriminatif terhadap orang Papua yang selama ini penulis saksikan bahkan alami.

Saat Diberi Kepercayaan oleh Dosen

Di kampus, biasanya para dosen memberikan tanggung jawab ke salah satu mahasiswa untuk mengkoordinir teman-temannya dalam suatu kelompok. Pada saat itu, jarang sekali tanggung jawab itu diberikan kepada anak-anak Papua.

Barangkali mereka tak yakin bahwasanya anak-anak Papua bisa pimpin teman-temannya. Mungkin dianggap masih dungu?
Pada hakikatnya, semua perlu belajar dan tanggung jawab itu tidak harus diberikan hanya kepada orang yang sama terus menerus. Jika itu yang terjadi, bukankah ini diskriminasi?

Oleh Teman Saat Bentuk Kelompok Kerja Tugas

Ini yang kadang membuat kami anak-anak Papua marah dan nyaris bertindak keras.
Biasanya, saat dosen menyuruh kita saling memilih teman untuk bentuk kelompok, hal membeda-bedakan pun tak pernah luput.

Mereka yang asal Jawa maunya pilih yang Jawa saja. Yang pintar maunya pilih yang dianggap pintar. Dimanakah penerapan dari makna Bhinneka Tunggal Ika?

Dengar-dengar Jokowi saat berkampanye pernah lontarkan rencana revolusi mental.

Mana buktinya?
Mestinya itu juga diterapkan lewat kampus-kampus yang ada, baik Perguruan Tinggi Nasional (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), kemudian berikan pemahaman kepada mahasiswa. Tetapi ini sepertinya mustahil.

Saat Mencari Penginapan atau Kost

Di hampir semua kota studi, sebenarnya sudah disediakan kontrakan atau asrama oleh masing-masing Pemda Kabupaten/Kota, juga Pemerintah Provinsi. Namun kadang karena membludaknya jumlah mahasiswa-mahasiswi, sebagian lainnya memilih mencari kost.

Ada yang beralasan karena di asrama kurang nyaman belajar. Makanya, mereka lebih memilih kost ketimbang asrama atau kontrakan bersama.

Mencari kost memang sulit. Biasanya ada saja kendalanya. Ya, mahasiswa atau mahasiswi Papua selalu saja ditolak. Pasti terdengar aneka alasan. Seperti, “Maaf kost ini sudah penuh penghuninya.” Dan sebagainya. Padahal di kost tersebut sebenarnya masih ada tempat/kamar untuk ditempati. Tetapi begitulah.
Anggapan pemilik kost tentang yang ini, tidak saya salahkan. Mungkin mereka punya pengalaman sebelumnya. Masih trauma. Boleh jadi karena sebelumnya anak Papua pernah bikin masalah yang tentunya tak menyenangkan hati sang pemilik kost, sehingga kemudian berlaku demikian.

Dicap Kaum Separatis
Sejauh saya amati, di hampir setiap kota studi telah dibentuk Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Perhimpunan ini digawangi oleh mahasiswa-mahasiswi yang haus akan kebebasan. Mereka yang tergabung dalam wadah AMP senantiasa bertugas membela, menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak Orang Papua.

Selama ini mereka dianggap separatis yang mau memisahkan diri dari NKRI. Padahal, jika ditilik dari ruang kebenaran yang hakiki, apa yang sedang mereka perjuangkan itu tepat pada poros kebenaran yang sesungguhnya.

Meski ada juga kisah lain, barangkali empat hal itu yang tampak mencolok di pengamatan saya. Dan saya yakin teman-teman mahasiswa lain yang sedang mengenyam pendidikan formal di Papua pun merasakan hal sama.

Lepas dari beberapa pengalaman tadi, saya juga tak lupa untuk menuliskan apa yang sempat disharingkan teman saya dalam suatu diskusi angkatan. Mendengar sharing tersebut, sangat mencengangkan.
Nama teman tidak saya sebutkan di sini. Yang jelas, ia salah satu mahasiswa dari 140 Perguruan Tinggi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Di kampus saya selalu dianggap lain oleh hampir semua teman beda ras. Dosen pun sama. Di saat itulah saya pernah berpikir bahwa seandainya saya juga orang Jawa, supaya saya tidak dianggap lain dan didiskriminasi oleh mereka, melainkan bergaul, bekerja sama seperti biasa selayaknya teman.”

Kami sadar dan akui bahwa kami juga bagian dari NKRI. Mengapa kami diperlakukan begini? Saya curahkan ini sesuai kondisi riil yang sudah dan sedang terjadi. Bukan bermaksud untuk memunculnya perpecahan, pengkotak-kotakkan, dan lain sebagainya.

Sebelum mengakhiri tulisan singkat ini, saya pikir kalau memang “Bhinneka Tunggal Ika” yang katanya berbeda-beda tetapi tetap satu itu disingsing saja, toh tidak ada penerapannya antarsesama di dalam kehidupan bermasyarakat nusantara.

Penulis adalah Mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Editor: Noken.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Seandainya Saya Pun Orang Jawa Rating: 5 Reviewed By: Pace Kribo