Berita Kini

Penegakan HAM Era Jokowi adalah Omong Kosong!

Ilst foto
JAYAPURA, PACEKRIBO - Berbicara tentang hak asasi manusia dan demokrasi sesungguhnya tidaklah berada dalam ruang kosong. Penerapan demokrasi dan HAM tentu sesuai dengan sistem ekonomi dan politik yang berlaku dalam suatu negeri. Itu sebabnya, berbicara HAM tidak bisa dilepaskan dari sistem yang berlaku di suatu negeri.

Itu pula sebabnya berbicara HAM di negeri ini sama saja dengan omong kosong. Betapa tidak, untuk berunjuk rasa dan menyampaikan pendapat saja rakyat harus mendapatkan “persetujuan” dari aparat kepolisian. Rakyat dibatasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Jika tidak ditaati, maka aparat kepolisian memiliki alasan untuk bertindak brutal.

Itulah yang dialami para buruh pada akhir Oktober lalu. Ribuan buruh ketika itu berdemo menolak Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan dan ingin bertahan hingga malam hingga aspirasi mereka didengarkan Presiden Joko Widodo. Alih-alih didengarkan justru tindakan brutalitas polisi yang mereka terima. Sebagian buruh mengalami luka dan ditangkap.

Terbaru adalah tindakan brutal aparat kepolisian terhadap mahasiswa Papua yang menyampaikan aspirasinya pada 1 Desember lalu. Seperti hal para buruh, nasib yang dialami mahasiswa Papua tidak jauh berbeda. Mereka dipukuli secara sadis dan sebagian lainnya ditangkapi, meski belakangan mereka dilepaskan. Sepintas, kelakuan rezim saat ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-20 yaitu sistem rust en orde atau keamanan dan ketertiban demi “pembangunan” yang melanggengkan penghisapan dan penjajahan.

Omong kosong tentang HAM yang bersifat universal ini terus berlanjut. Terlebih banyak pihak terutama para aktivis HAM ingin memaksakan konsep universal tersebut. Padahal kenyataannya itu hanya pemanis di bibir. Atau barangkali mereka lupa negara itu berwatak kelas sehingga, kata Lenin dalam Negara dan Revolusi, “Negara adalah produk dan manifestasi dari tak terdamaikannya antagonisme-antagonisme kelas.” Karenanya, konsep HAM universal itu sungguh tidak mungkin diterapkan terlebih untuk mewujudkan persamaan hak semua orang.

Hukum-hukum yang diproduksi saat ini juga merupakan perwujudan dari kepentingan kelas penguasa, kelas penghisap, kelas pemilik modal atau pemilik alat produksi. Itu sebabnya hukum ketenagakerjaan kita, misalnya, sangat berpihak kepada pengusaha. Contoh terbaru adalah PP tentang Pengupahan itu. Lalu, masihkah relevan berbicara tentang konsep HAM bersifat universal itu? Omong kosong!

Lalu, bagaimana pula memaknai penegakan HAM di era rezim Joko Widodo, terutama tahun ini?
Janji Jokowi

Pada Pemilihan Presiden 2014, publik tentu masih ingat visi, misi dan program aksi yang dijanjikan Jokowi-Jusuf Kalla. Judul dari janji kampanyenya saja menggetarkan yaitu “Jalan Perubahan untukIndonesiayang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”. Judul itu tentu saja meminjam konsepsi Bung Karno yaitu Trisakti yang disebut sebagai solusi atas persoalan bangsa terutama terkait dengan masalah “merosotnya kewibawaan negara”, “melemahnya sendi-sendi ekonomi nasional”, dan “merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa”.

Sementara terkait dengan kedaulatan dalam politik, Jokowi-Kalla berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok dan Tragedi 1965. Namun, faktanya baru 3 bulan Jokowi-Kalla berkuasa, keduanya sudah lupa akan janjinya itu. Mereka memunggungi rakyat yang menagih komitmen dan janji tersebut.

Sementara Koalisi Peringatan Hari HAM menyebutkan pemerintahan Jokowi-Kalla tidak berkomitmen dalam menghormati, melindungi dan memenuhi HAM. Itu tergambar dari berulangnya pelanggaran HAM, bahkan meningkat dari berbagai sektor isu berkenaan dengan hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya. Rezim Jokowi juga disebut melanjutkan impunitas atas persoalan penegakan HAM masa lalu. Pasalnya, Jokowi lebih memilih jalan rekonsiliasi ketimbang membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili para pelanggar HAM masa lalu.

Kemudian, Koalisi juga menyebutkan rezim saat ini tidak memiliki komitmen atas pemberantasan korupsi, gemar mengkriminalisasi dan menggusur rakyat miskin, membungkam kebebasan berpendapat, menindas kaum buruh demi kepentingan investasi, dan meningkatnya militerisme. Ini semua terjadi di era pemerintahan yang populis yang konon berkomitmen atas penegakan HAM. Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam peringatan HAM pada tahun ini menyebutkan selama 5 tahun terakhir, lembaga kepolisian merupakan paling banyak dilaporkan masyarakat terkait pelanggaran HAM. Komnas HAM setiap tahun menerima laporan rata-rata 6 ribu berkas pengaduan. Bahkan pada 2015 laporan yang diterima Komnas HAM lebih dari 7 ribu berkas pengaduan dan paling banyak diadukan adalah polisi.

Temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [Kontras] sepertinya mengkonfirmasi catatan Komnas HAM itu. Sepanjang 2015, lembaga yang paling anyak melanggar kebebasan terkait dengan HAM adalah kepolisian.Ada238 peristiwa pelanggaran, 85 di antaranya dilakukan oleh polisi. Maka, tidak heran ketika memperingati Hari HAM pada 10 Desember 2015 di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, personel Kontras digelandang ke Polres Jakarta Pusat hanya karena membagi-bagi temuan mereka itu.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa pembatasan dan pelarangan kebebasan berpendapat justru terjadi di era sekarang, era yang dipimpin oleh sipil dan populis pula? Seperti yang sudah disebutkan, penegakan dan penerapan HAM tidaklah berada di ruang kosong. Itu amat sangat tergantung dengan situasi ekonomi dan politik suatu negeri. Itu pula yang terjadi diIndonesia. Dengan memaknai HAM dari sudut pandang ekonomi dan politik yang berlaku di negeri kita, maka kita akan mendapatkan jawaban mengapa bentuk-bentuk pembatasan, pelarangan dan penindasan di era Jokowi meningkat.
Akar Pelanggaran HAM.

Krisis kapitalisme global yang semakin mendalam sejak 2008 tentu berpengaruh atas situasi diIndonesia. TerlebihIndonesiamerupakan bagian dari sistem ekonomi global tersebut. Sejak krisis utang melanda Amerika Serikat pada 2010, nampaknya sama sekali tidak ada tanda-tanda akan adanya perbaikan. Maka dari, itu, imperialisme yang dikepalai AS memainkan berbagai skema sebagai upaya untuk mengatasi krisis kapitalisme. Skema itu tentunya hanya demi menjaga dan menyelematkan kepentingan para pemilik modal.

Krisis ini bukan karena tidak adanya dana. Justru sebaliknya. Terjadi kelebihan dana dan barang di dalam negeri, tapi sama sekali tidak memberi nilai baru jika tetap berada di dalam negeri. Untuk menghindari pembusukan modal ini, maka kelebihan dana dan barang tersebut mesti dialirkan terutama ke negeri-negeri sepertiIndonesiayang termasuk setengah jajahan dan setengah feodal. Dari situ diharapkan akan menghasilkan nilaibaridan memberi keuntungan bagi negeri-negeri imperialis yang dikepalai AS.

Untuk melancarkan jalannya skema itu, maka negeri-negeri imperialis mesti mengintervensi kebijakan pemerintahan negara yang menjadi bonekanya. Tujuannya agar hambatan yang selama ini mempersulit proses aliran dana dan barang dihilangkan. Itu sebabnya, pemerintah lalu mereformasi berbagai kebijakan atau kerap disebut dengan deregulasi. Intervensi ini justru lebih sering berupa pemaksaan agar pemerintah menerapkan kebijakan pasar bebas atau neoliberal baik secara bilateral maupun regional.

Di era Jokowi intervensi kebijakan ini dikenal dengan Paket Kebijakan Ekonomi I hingga VI. Semua kebijakan tersebut jelas dan terang mengabdi kepada pemilik modal, demi investasi asing dan swasta. Maka, dari kebijakan ini pula bermunculan aturan-aturan yang secara jelas anti-rakyat dan anti-demokrasi. Semisal, Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan Tahun 2015, lalu diikuti dengan kebijakan Kepala Kepolisian RI membuat Surat Edaran Ujaran Kebencian dan Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur soal Unjuk Rasa.

Kebijakan ini secara hakikat tidak berbeda dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial pada 1920an yang dikenal dengan rust en orde atau keamanan dan ketertiban. Kebijakan ini diterapkan pemerintah kolonial untuk menjamin “pembangunan” yang melanggengkan penghisapan dan penjajahan. Kebijakan itu pula yang dijadikan pemerintah kolonial untuk menindas gerakan rakyat terutama pemogokan kaum buruh dan kaum tani. Kebijakan yang serupa dalam wujud yang berbeda kemudian hadir di era yang disebut reformasi.

Situasi yang sama juga dialami negara lain seperti Filipina, misalnya. Sejak rezim populis Presiden Noynoy Aquino berkuasa pelanggaran HAM terus meningkat. Catatan Karapatan, organisasi HAM Filipina menyebutkan sebanyak 304 orang menjadi korban pembunuhan di luar hukum atau extra judicial killing. Dari jumlah itu, 223 orang adalah petani, 80 orang masyarakat adat dan 28 orang anak-anak.

Lalu sepanjang 2010 hingga 2015 sebanyak 324 orang menjadi korban pembunuhan brutal aparat keamanan pemerintah. Karapatan juga mendokumentasikan 26 korban pembunuhan brutal yang menunjukkan keburukan rezim Noynoy Aquino. SepertiIndonesia, pemerintah Noynoy Aquino merupakan boneka dari imperialis AS. Karena itu, tidak heran setiap kebijakan pemerintahannya selalu mengabdi kepada kepentingan kapitalis monopoli asing.

Berdasarkan fakta itu, maka menjadi jelas mengapa pembatasan, pelarangan, penindasan dan pembunuhan pada era Jokowi kian meningkat. Sebagai negara yang sangat bergantung pada utang luar negeri dan investasi untuk menjalankan pembangunan nasional atau boleh dikata sebagai boneka imperialis AS, pemerintah Jokowi akan melakukan apa saja. Termasuk menggerakkan mesin negara seperti militer, polisi dan paramiliter agar tujuan imperialis itu tercapai. Itu sebabnya, sulit dipercaya Jokowi akan berpihak pada HAM?
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Penegakan HAM Era Jokowi adalah Omong Kosong! Rating: 5 Reviewed By: Pace Kribo