JAYAPURA, PACEKRIBO - Sejumlah anggota parlemen
dari beberapa negara Pasifik dan Inggris telah membuat deklarasi di London yang
menyerukan kepada dunia internasional untuk mengawasi pemilihan pada
kemerdekaan Papua Barat.
Kelompok Parlemen Internasional untuk Papua Barat
(International Parliamentarians for West Papua) menyelenggarakan pertemuannya
di Gedung Parlemen di London untuk membahas masa depan masyarakat dan Tanah
Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang sedang berada dibawah pemerintahan
Indonesia.
Menurut kelompok Pembebasan Papua
Barat, pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn, yang kembali memberikan
dukungannya untuk perjuangan Papua Barat untuk pembebasan dan mengatakan bahwa
ia ingin menuliskannya menjadi bagian dari kebijakan Partai Buruh, seperti
dikutip dariRadio New Zealand, Rabu (4/5/2016).
Deklarasi tersebut mengatakan pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi di Papua Barat tidak dapat diterima. Deklarasi itu
memperingatkan bahwa tanpa ada tindakan dari dunia internasional (situasi ini)
mempertaruhkan kepunahan masyarakat Papua dan menegaskan kembali untuk hak
masyarakat asli untuk menentukan nasib sendiri.
Deklarasi tersebut juga mengatakan ‘Act of Free
Choice’ 1969, sanksi-referendum PBB yang memasukan Belanda Papua (Dutch New
Guinea) ke Indonesia, adalah pelanggaran berat dari prinsip itu.
Deklarasi ini menyerukan kepada dunia internasional
untuk mengawasi penentuan nasib sendiri sesuai dengan Resolusi Majelis Umum
PBB.
Pertemuan tersebut turut dihadiri Menteri Luar Negeri
Vanuatu Bruno Leingkone, Utusan MSG Khusus Papua Barat, Rex Horoi, Menteri
Pertanahan dan Sumber Daya Alam Vanuatu Ralph Regenvanu, Gubernur Oro District
PNG, Gary Juffa, Lord Harries dari Pentregarth dari Inggris House of Lords dan
Benny Wenda dari Gerakan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Staf Khusus Presiden soal Papua ‘Tidak
Tahu’ Pertemuan Bahas Papua Merdeka
Staf khusus presiden soal Papua, Lenis Kogoya, mengaku
tidak tahu soal pertemuan internasional tentang kemerdekaan Papua yang
diselenggarakan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) di London,
Selasa (3/5/2016).
“Aku baru tahu informasi hari ini
jadi berkomentar juga tidak tahu nanti malah saya disalahin. Lebih baik nanti
dulu,” kata Lenis seperti dikutip dari BBC Indonesia, di
Jakarta.
Dalam sebuah pernyataan, beberapa waktu lalu, Menteri
Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa kampanye yang diadakan di luar
negeri untuk memisahkan Papua dari Indonesia bukan langkah berarti.
“Kadang-kadang apa yang mereka lakukan misalnya seperti sesuatu yang sangat
besar, tapi sebenarnya tidak,” katanya.
IPWP didirikan aktivis Papua Merdeka dan beberapa
anggota parlemen dari Vanuatu, Inggris dan Papua Nugini pada 2008. Kelompok ini
terinspirasi oleh keberhasilan Parlemen Internasional untuk Timor Timur.
Pertemuan IPWP kembali mengangkat persoalan hak warga
Papua untuk menentukan nasib sendiri ke dunia internasional.
Catherine Delahunty, Anggota Parlemen dari Green Party NZ (kedua dari kiri) saat melakukan protes kecil terkait West Papua di luar parlemen Selandia Baru, Selasa – RNZI / Johnny Blades |
Papua Barat masih dalam ‘jajahan’ Belanda ketika
Republik Indonesia benar-benar merdeka pada 1949. Pada akhir 1961, Papua Barat
mengadakan kongres yang menyatakaan kemerdekaan Papua Barat dan mengibarkan
bendera Bintang Kejora.
Tak lama kemudian, tentara Indonesia menginvasi Papua
Barat. Terjadi konflik antara pemerintah Belanda, Indonesia, dan penduduk asli
Papua tentang siapa yang berhak memerintah wilayah itu. Pada 1962, Amerika
Serikat mensponsori perjanjian antara Belanda dan Indonesia yang memberikan
Papua Barat kepada pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia diwajibkan
mengadakan pemilihan umum yang diawasi PBB mengenai hak warga Papua Barat untuk
menentukan nasib sendiri pada 1969.
Alih-alih menyelenggarakan pemilu yang terbuka bagi
seluruh warga Papua, pemerintah Indonesia memilih 1022 ‘perwakilan’ dari
populasi sekitar 800.000. Mereka memilih dengan suara bulat untuk bergabung ke
NKRI, kendati telegram dari kedutaan besar AS di Indonesia ke Gedung Putih
menunjukkan bahwa hasil pemilihan tersebut telah ditetapkan sebelumnya.
“The Act of Free Choice (AFC) di Irian Barat bagaikan
tragedi Yunani, akhirnya sudah ditentukan. Protagonis utama, Pemerintah
Indonesia, tidak bisa dan tidak akan mengizinkan penyelesaian selain
keberlanjutan penyertaan Papua Barat ke Indonesia. Aktivitas pemberontakan amat
mungkin meningkat tapi angkatan bersenjata Indonesia akan dapat menahannya, dan
kalau perlu, menindasnya,” tercantum dalam dokumen rahasia yang dibuka ke
publik pada tahun 2004.
Meski demikian, PBB merestui pemilihan tersebut dan
Papua Barat berada dalam pemerintahan Indonesia sejak saat itu. The Act of Free
Choice sering dikritik sebagai “Act of No Choice”.
Kekerasan Aparat
Mahasiswa Papua yanga tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua Semarang ketika menggelar demo dan dikawal personil polisi Polrestabes Semarang, Senin (2/5/2016) – Jubi/IST |
Sementara itu di Papua, pada Selasa tidak ada aksi
yang menyuarakan dukungan untuk pertemuan IPWP; setelah lebih dari 1.000
aktivis yang menggelar aksi demikian pada Senin 2 Mei diangkat dan ditahan
Polda Papua sampai Senin (2/5/2016) malam. Sedikitnya tujuh orang dilaporkan
mengalami luka-luka akibat pukulan popor senapan dan tendangan sepatu aparat.
Begitu juga awak media yang dihalangi untuk meliput penahanan tersebut.
Salah seorang pengunjuk rasa, Leah, kepada BBC
Indonesia mengaku menerima pelecehan dari aparat polisi.
“Di saat kami di TKP, mereka tarik dan berusaha lepas
pakaian yang saya pakai sehingga Sali (pakaian tradisional Papua) yang saya
pakai itu sudah terputus-putus… Dan saya ditarik sehingga saya tergores di
bagian kaki karena kena aspal,” kata Leah kepada BBC Indonesia.
Selain pelecehan, Leah juga mengaku ditendang dengan
sepatu laras di bahu kanannya ketika diangkut dengan mobil Brimob.
Penahanan aparat terhadap aktivis yang berunjuk rasa
sering terjadi di Papua. Pada 13 April 2016, demonstrasi Komite Nasional Papua
Barat (KNPB) yang menyuarakan kemerdekaan Papua Barat dilaporkan terhenti
karena karena dihadang barikade anggota TNI/Polri. Juru bicara KNPB, Bazoka
Logo mengatakan bahwa aparat menangkap 31 pengunjuk rasa.
Secara terpisah, mantan tahanan politik Papua, Filep
Karma, menyebut penahanan itu sebagai intimidasi aparat Indonesia.
“Itu yang selama ini terjadi di
tanah Papua… Jadi dengan kemarin mereka mempertontonkan kekerasan, kekuasaan,
dan apapun yang mereka buat, itu menjadi tontonan internasional – bahwa itulah
yang selama ini dipraktekkan di atas tanah Papua sejak ’63 sampai dengan hari
ini,” ujarnya. (Yuliana Lantipo)
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.