Ilst |
LONDON, PACEKRIBO - Referendum tentang penentuan nasib
sendiri di Papua selama ini ditentang oleh pemerintah Republik Indonesia.
Namun, referendum tersebut dapat saja terjadi tanpa persetujuan pemerintah bila
disponsori oleh kelompok-kelompok yang pro-kemerdekaan.
Namun, bila hal itu dipaksakan,
kekerasan antara yang pro dan kontra tak dapat terhindarkan. Oleh karena itu
komunitas internasional harus turun tangan sejak tahap awal, bekerjasama dengan
kedua belah pihak, untuk mendapatkan persetujuan Indonesia menyelenggarakan
referendum damai. Referendum itu diawasi oleh dunia internasional untuk
menghindari kekerasan dalam skala yang lebih luas.
Ini adalah satu dari enam skenario masa depan Papua yang
dipaparkan oleh sebuah laporan hasil studi Economic and Social Research Council
(ESRC), Universitas Warwick, Inggris. Laporan yang diberi judul Assesment Report on the Conflict in
the West Papua Region of Indonesia, an Overvier of the Issues and
Recommendations for the UK and the International Community juga
telah menjadi salah satu acuan Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn,
ketika menyerukan diberikannya kebebasan melaksanakan aspirasi bagi rakyat Papua.
Menurut studi Universitas
Warwick, permintaan referendum selama ini ditentang oleh pemerintah RI yang
ingin mempertahankan keutuhan negara. Apalagi referendum selalu dikaitkan
dengan aspirasi untuk merdeka. Namun di sisi lain, studi Universitas Warwcik
juga tidak mengabaikan meningkatnya tuntutan untuk melaksanakan referendum
tersebut di kalangan rakyat Papua. Sebagai contoh, pada tahun 2010,
Majelis Rakyat Papua (MRP) mengembalikan UU Otonomi Khusus kepada pemerintah
dan menuntut referendum, yang didukung oleh 28 organisasi masyarakat sipil yang
melakukan unjuk rasa menyampaikan dukungan.
Tekanan dari dunia internasional,
baik dari negara atau pun kelompok negara, seperti Melanesian Spearhead Group
(MSG), serta dukungan dari kelompok moderat di dalam negeri, menurut laporan
Universitas Warcik, juga berpotensi memuluskan diperolehnya persetujuan
pemerintah RI akan dilaksanakannya referendum.
Namun, kata laporan itu,
referendum tanpa persetujuan pemerintah dapat saja terjadi apabila
organisasi-organisasi pro penentuan nasib sendiri ngotot ingin melaksanakannya.
Bila skenario ini terjadi, pemerintah diperkirakan tidak tinggal diam dan akan
ada perlawanan. Selanjutnya, kemungkinan besar tidak terhindarkan terjadinya
kekerasan.
Pengalaman Timor Timur (sekarang
Timor Leste) menunjukkan, setelah terwujudnya referendum yang diawasi oleh PBB
pada 1999, negara itu dilanda konflik horizontal. Diperkirakan 1.400 orang
terbunuh pasca referendum. Sebanyak 300.000 orang terpaksa meninggalkan negeri
itu. Kekerasan baru berakhir setelah adanya intervensi pasukan penjaga
perdamaian Australia.
Salah satu isu yang penting
dibicarakan apabila referendum dilaksanakan adalah siapa yang layak untuk
mendapat hak suara. Ini penting karena warga Papua bukan hanya orang
Papua asli. Diperkirakan setengah penduduk Papua dewasa ini bukan orang
asli Papua.
Di Timor Timur pada 1999, hanya
orang asli Timor Timur yang diberi hak memberi suara. Sedangkan migran dari
Indonesia dikecualikan. Namun, kondisinya berbeda dengan di Papua. Di Timor
Timur ketika itu hanya 10 persen migran dari Indonesia yang menjadi warga Timor
Timur, yang berarti jumlahnya tidak signifikan. Sedangkan di Papua kini jumlah
warga non asli Papua mencapai 50 persen.
Masalah ini akan sangat krusial
dalam menyiapkan referendum. Lebih jauh, warga non asli Papua juga masih harus
dibedakan antara mereka yang sudah berada di Papua sebelum Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) tahun 1969 dan mereka yang baru datang ke Papua setelah itu. Ke
dalam kelompok yang disebut belakangan, juga harus dibedakan antara mereka yang
datang ke Papua karena disponsori oleh pemerintah RI, atau mereka yang datang
atas kemauannya sendiri.
Menurut studi Universitas
Warwick, diperlukan kesepakatan tentang hal ini sebelum terlaksananya
referendum damai. Dan jika referendum itu memiliki pilihan untuk merdeka, harus
dipikirkan transisi yang mulus kepada pemerintahan yang baru.
Dalam studi Universitas Warwick,
referendum hanyalah satu dari enam skenario, yang mungkin terjadi di masa depan
bagi penyelesaian konflik Papua. Skenario lain adalah dilaksanakannya otonomi
khusus yang berarti Papua tetap berada dalam wilayah NKRI. Skenario ini paling
diinginkan oleh pemerintah RI. Namun, di kalangan rakyat Papua sendiri, otonomi
khusus yang selama ini dijalankan dirasakan belum cukup untuk mengakomodasi
hak-hak politik rakyat Papua.
Skenario lain adalah terciptanya
dialog antara Jakarta dan Papua yang melibatkan berbagai pihak di dalam negeri.
Skenario berikutnya adalah Papua
berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai wilayah tidak
berpemerintah.
Skenario lain yang ditolak oleh
pemerintah Indonesia adalah diberikannya kemerdekaan kepada Papua.
Walaupun referendum mengambil
porsi yang cukup besar dalam paparan, studi Universitas Warwick belum merekomendasikan
ini sebagai salah satu dari 14 rekomendasi yang ditawarkan. Rekomendasi yang
lebih menonjol diberikan adalah mendesak keterlibatan parlemen Inggris dalam
mencari solusi konflik di Papua. Selain itu studi ini mendesak keterlibatan
Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mencari fakta pelanggaran HAM di Papua.
Selain itu, studi Universitas
Warwick juga menekankan dan merekomendasikan diadakannya dialog antara Jakarta
dan Papua.
Solusi dialog juga ditawarkan
oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan telah disambut oleh
sejumlah tokoh Papua, termasuk oleh beberapa tokoh United Liberation Movement
for West Papua (ULMWP).
Hanya saja, pemerintah Indonesia
tampaknya masih berhati-hati terhadap tawaran dialog. Menurut Peneliti LIPI,
Adriana Elisabeth, pemerintah RI belum sepenuhnya memahami kerangka dialog
inklusif dan menyeluruh yang ditawarkan oleh LIPI. Pemerintah Indonesia juga
belum mengakui ULMWP sebagai wakil masyarakat Papua. Padahal menurut Adriana,
eksistensi ULMWP tidak mungkin diabaikan lagi karena mereka sudah diakui oleh
MSG sebagai peninjau.
Di sisi lain, tokoh-tokoh Papua
sendiri menerima dialog dengan catatan dimediasi oleh pihak ketiga atau
Perserikatan Bangsa-bangsa. Pendeta Socratez Yoman, yang baru-baru ini
mengunjungi Selandia Baru untuk bertemu dengan anggota parlemen negara itu,
mengatakan dialog dengan Jakarta harus dilaksanakan dengan perantaraan pihak
ketiga. Socratez menjadikan perundingan antara Jakarta-GAM sebagai contoh.
Ketika itu, dialog tersebut dimediasi oleh Martti Ahtisaari, mantan presiden
Finlandia lewat lembaga resolusi konflik yang didirikannya, Crisis Management
Initiative.
Salah seorang tokoh gereja di Papua, Pendeta Benny Giay,
baru-baru ini menulis di theconversation.com, yang menyerukan perlunya penyelesaian yang bermartabat
bagi konflik Papua. Ia menilai dialog antara Jakarta-Papua perlu dilakukan
dengan mediasi komunitas internasional.
"Sebuah resolusi sejati bagi
rakyat Papua hanya bisa muncul dari kesediaan Indonesia mendengar dan
menghentikan tekanan terhadap rakyat Papua. Indonesia harus menyambut dukungan
dunia internasional, seperti MSG dan PBB, sebagai mediator untuk menemukan resolusi
konflik Papua," tulis dia.
Sementara itu di kalangan tokoh
ULMWP, tawaran dialog juga masih ditafsirkan dengan ekstra hati-hati. Sebagian
yang moderat, dapat menerima dialog dengan syarat bukan dalam konteks NKRI.
Dialog itu juga harus dimediasi oleh pihak ketiga.
Di titik ekstrem lainnya, seperti yang disuarakan oleh
Juru Bicara ULMWP, Benny Wenda, adalah dialog dengan tujuan akhir memberikan
kemerdekaan kepada Papua. Dalam sebuah artikelnya di huffingtonpost.com, kemarin, ia justru menyerukan agar pemerintah RI
mencari solusi bagi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua.
Suara lain yang lebih keras, dikemukakan tokoh ULMWP
lainnya, Buchtar Tabuni. Menurut dia, ULMWP tidak memiliki agenda untuk
melakukan dialog dengan Jakarta. Agenda ULMWP, menurut dia sebagaimana dikutip
oleh suarapapua.com, hanya dua,
yakni kampanye hak penentuan nasib sendiri dan mendorong ULMWP untuk menjadi
anggota penuh di MSG.
Sumber: satuharapan.com
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.