Deklarasi dan Hasil Pertemuan IPWP di London, Inggris, 3 Mei 2016 – doc. Victor Yeimo |
JAYAPURA, PACEKRIBO - PBB harus membuat
resolusi pemungutan suara dibawah pengawasan internasional untuk kemerdekaan
Papua, demikian dinyatakan anggota parlemen internasional dan pengacara pro
kemerdekaan Papua.
Dalam pertemuan di London Selasa, (3/5/2016), pemimpin
pro kemerdekaan Papua, Benny Wenda, bersama anggota-anggota parlemen, pengacara
dan para aktivis kemanusiaan dari Inggris dan wilayah Pasifik menuntut PBB
membuat resolusi untuk referendum independen, dalam rangka memperbaiki
“kesalahan”nya mengizinkan Indonesia mengambil kontrol selama hampir 50 tahun
lalu
Indonesia memegang kontrol sementara atas wilayah
Papua dari penjajahan Belanda atas persetujuan PBB di tahun 1963.
Pada tahun 1969 Indonesia berkuasa penuh melalui
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang disepakati PBB, namun tidak kredibel
karena hanya diikuti 1000 orang perwakilan pemimpin Papua, yang memilih dibawah
ancaman kekerasan.
Menurut Wenda, Pepera tersebut, yang dianggap
“tindakan pilihan bebas”, adalah pengkhianatan kepada rakyat Papua dan
sekaranglah saatnya bagi PBB untuk memperbaiki kesalahan itu.
“Rakyat Papua menyebutnya sebagai tindakan tanpa
pilihan,” ujar Wenda kepada Guardian, Rabu (3/5) yang dipantau Jubi Kamis pagi
(4/5/2016). “PBB sudah membuat kesalahan, mereka melanggar aturan mereka
sendiri. Itulah sebabnya mereka mesti memperbaikinya sekarang.”
Gerakan Free West Papua berharap PBB akan mengeluarkan
resolusi ini dalam dua tahun serta mengirimkan penjaga keamanan internasional
untuk melindungi rakyat Papua ketika pemungutan suara untuk kemerdekaan
berlangsung.
“Selama 50 tahun Indonesia melakukan pembantaian
terhadap rakyat kami, 500.000 orang. Kami membutuhkan pasukan penjaha
perdamaian internasional di Papua,” ujarnya.
“Mungkin dalam 10 atau 20 atau 50 tahun yang akan
datang saya piker rakyat saya akan menjadi minoritas. Kami membutuhkan ini
segera.”
Hadir bersama Wenda Akilisi Pōhiva, Perdana Menteri
Tonga dan kepala pemerintahan dalam pertemuan Free West Papua, gubernur Papua
New Guinea Powes Parkop dan Garry Juffa, serta Menteri Pertanahan dan Sumber
Daya Alam Vanuatu, Ralph Regenvanu.
Regenvanu kepada Guardian mengatakan bangsanya selalu
mendukung kemerdekaan Papua.
Ia menyerukan wilayah-wilayah lain di kawasan itu,
khususnya Australia dan New Zealand, yang saat ini mendukung kedaulatan
Indonesia, agar bergabung ikut mendukungnya.
“Mereka harus melangkah maju dan mengakui apa yang
sedang terjadi di depan pintu rumah mereka sendiri,” ujarnya pada Guardian.
“Saya pikir sikap pemerintah New Zealand dan Australia memalukan terkait
Papua.”
Pengacara HAM, Jennifer Robinson, mencatat kedua
bangsa juga mendukung kedaulatan Indonesia terhadap Timor Leste hingga
“detik-detik terakhir”.
“Penting sekali kita terus membangun kampanye masyarakat
sipil yang kuat di Australia dan New Zealand untuk menekan pemerintah melakukan
hal yang benar,” kata Robinson.
“Adalah pelanggaran atas nama hukum internasional
karena membiarkan situasi yang melanggar hukum, dan pendudukan Indonesia atas
Papua adalah pelanggaran hukum karena mereka tidak menghormati hukum
internasional dalam proses integrasi Papua,” ujarnya lagi.
Inilah puncak tuntutan dari puluhan tahun kampanye,
dan dorongan yang makin menguat dari akar rumput belakangan ini terhadap
gerakan Free West Papua, serta peningkatan keanggotaan dalam International
Parliamentarians for West Papua (IPWP), dimana pimpinan Partai Buruh Jeremy
Corbyn menjadi pendirinya.
“Konferensi ini menyambut baik dukungan internasional
yang terus bertumbuh, khususnya di Pasifik, bagi rakyat Papua agar diakui hak
penentuan nasibnya sendiri yang telah lama diabaikan,” kata Andrew Smith,
anggota Parlemen Oxford East, Ketua dan pendiri IPWP.
“Pengabaian ini adalah noda dalam sejarah PBB, yang
harus terus kita kampanyekan agar komunitas internasional memperbaikinya.”
Lord Harries of Pentregarth, mantan Uskup Oxford, juga
pendiri IPWP, menggambarkan Papua sebagai “salah satu skandal pembiaran terbesar
abad ini”
“Setidaknya parlemen di beberapa negara di dunia
semakin terbuka matanya pada persoalan ini, dan kunjungan pimpinan politik dari
Pasifik adalah langkah baik menuju pengakuan PBB atas perjuangan orang Papua
dan kehendak mereka atas penentuan nasib sendiri.”
Meskipun secara verbal tampak melunak terkait otonomi
dan kebebasan di Papua, Presiden Jokowi secara umum masih gagal menindaklanjuti
perkembangan ini. Dibawah kepempimpinannya, pelanggaran dan kekerasan oleh
militer dan polisi, termasuk penangkapan massal dan represi terhadap
protes-protes damai, terus berlanjut.
“Inilah kenyataan hidup sehari-hari di Papua. Secara
fisik, mental, intimidasi terjadi terus,” ujar Wenda.
“Rakyat saya yang akan putuskan siapa yang mereka
inginkan untuk memimpin perjuangan kemerdekaan, tetapi kewajiban saya sekarang
adalah membebaskan Papua,” ujarnya.(jubi)
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.