JAKARTA, PACEKRIBO
- Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk bidang
kesehatan, Dainius Puras, dijadwalkan akan mengunjungi Papua pada hari
Jumat (31/03) ini.
Kunjungan
ke Jayapura merupakan bagian dari lawatannya ke Indonesia yang telah
dimulai pada 23 Maret hingga berakhir pada 3 April mendatang.
Para
aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) memandang kunjungan ini sangat penting.
Pertama, ini merupakan kunjungan pertama Pelapor Khusus PBB ke
Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
Pada
tahun 2007, Hina Jilani, Pelapor Khusus PBB untuk masalah HAM pernah
berkunjung ke Papua. Ia sempat bertemu dengan komunitas masyarakat sipil
Papua dan korban-korban pelanggaran HAM di Papua.
Pada
tahun 2008, Manfred Nowak, Pelapor Khusus PBB tentang penyiksaan
berkunjung ke Papua dan menemui beberapa korban penyiksaan.
Setelah
itu, Indonesia menolak kehadiran Pelapor Khusus PBB, Frank LaRue, yang
membidangi kebebasan berekspresi pada tahun 2013. Pada tahun 2015,
kembali Indonesia menolak kedatangan Pelapor Khusus PBB, David Kaye,
juga untuk bidang yang sama.
Dainius Puras memang bukan Pelapor Khusus yang spesifik membidangi perihal kekerasan ataupun kebebasan berekspresi, masalah yang selama ini dianggap sangat krusial di Papua. Sesuai mandatnya, ia ke Indonesia untuk melihat dari dekat pelayanan kesehatan bagi masyarakat, dan di Papua tentu akan menyoroti kesehatan masyarakat asli Papua.
Dainius Puras memang bukan Pelapor Khusus yang spesifik membidangi perihal kekerasan ataupun kebebasan berekspresi, masalah yang selama ini dianggap sangat krusial di Papua. Sesuai mandatnya, ia ke Indonesia untuk melihat dari dekat pelayanan kesehatan bagi masyarakat, dan di Papua tentu akan menyoroti kesehatan masyarakat asli Papua.
Namun,
mengingat Pelapor Khusus PBB membawa mandat dari Dewan Hak Asasi
Manusia PBB, kunjungannya tak bisa terlepas dari perspektif penegakan
HAM.
Kedua,
kunjungan Dainius Puras semakin penting mengingat masalah penegakan HAM
di Papua dewasa ini telah menjadi isu internasional dan dikaitkan
dengan hak menentukan nasib sendiri (baca: merdeka) bagi rakyat Papua.
Awal
bulan ini, tujuh negara Pasifik (Vanuatu, Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu,
Marshall Islands dan Solomon Islands) mengangkat isu pelanggaran HAM di
Papua dalam sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, yang semakin membuka mata
dunia terhadap gejolak keinginan merdeka rakyat Papua.
Juni
tahun lalu, hal yang sama juga diangkat oleh tujuh negara Pasifik
tersebut. Forumnya bahkan lebih bergengsi, yakni di depan Sidang Majelis
Umum PBB di New York, forum dimana Wakil Presiden Jusuf Kalla juga
hadir dan berpidato.
Masih
pada tahun yang sama, Pelapor Khusus PBB bidang kebebasan berekspresi,
Maina Kiai, juga menyinggung pembatasan hak berkumpul dan berserikat
etnis Papua di Indonesia di depan sidang Dewan HAM PBB. Maina Kiai
termasuk Pelapor Khusus PBB yang tidak diizinkan ke Indonesia.
Kiai
menganggap pembatasan kebebasan berekspresi merupakan bentuk
fundamentalisme politik, yang mengharuskan kepatuhan buta kepada
platform politik resmi atau kesetiaan kepada para pemimpin tertentu.
Menurut
dia, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tidak bisa diragukan
adalah termasuk hak untuk berkumpul dan berorganisasi untuk tujuan
politik. Di Papua tahun lalu, ratusan bahkan ribuan orang sempat ditahan
oleh polisi setelah unjuk rasa damai.
Faktor
ketiga yang membuat kunjungan Dainius Puras terasa semakin relevan
karena ia datang ketika kebebasan pers, terutama kunjungan wartawan
asing ke Papua, mengalami pembatasan. Beberapa hari lalu wartawan
Prancis, Jack Hewson, mengatakan dirinya diblacklist oleh pihak
imigrasi, tanpa alasan yang jelas. Kuat dugaan adalah karena rencana
kunjungannya ke Papua. Pihak imigrasi mengatakan blacklist itu merupakan
rekomendasi dari TNI.
Pekan
lalu, dua wartawan Prancis, Jean Frank Pierre dan Basille Marie
Longhamp, juga dideportasi dari Papua, yang oleh Human Right Watch
dianggap sebagai pengingkaran terhadap janji Presiden Joko Widodo yang
mengatakan wartawan asing bebas meliput di Papua.
Dua
wartawan Prancis tersebut ditahan dan kemudian dideportasi dari Papua
dengan alasan mereka membuat film dokumenter tanpa didukung oleh dokumen
yang diperlukan dari instansi terkait. Padahal kedua jurnalis tersebut
bekerja untuk Garuda Indonesia.
Keempat,
kunjungan Dainius Puras semakin penting karena di Papua saat ini para
aktivis HAM tengah membicarakan kontroversi kematian Maikel Merani dalam
sebuah operasi kepolisian.
Versi
resmi kepolisian mengatakan Maikel Merani adalah pimpinan Kelompok
Kriminal Bersenjata (KKB) yang sudah lama dicari polisi. Ia dikatakan
ditembak karena melawan.
Namun
versi keluarga dan cenderung diyakini oleh para aktivis HAM, ia tewas
dieksekusi oleh aparat ketika berada di rumah mertuanya. Menurut saksi
mata, Maikel Merani masih sempat menggendong anaknya sebelum polisi
menyerbu rumahnya. Mereka juga bersaksi bahwa Maikel tidak memberikan
perlawanan.
Para
pemerhati HAM menilai dalih bahwa ia merupakan gembong KKB bukan alasan
yang sahih untuk menghabisi nyawanya. Kini masyarakat di sekitar
tempatnya tinggal diberitakan merasa tidak aman dan banyak yang belum
berani kembali ke rumah.
Walaupun
kunjungan Dainius Puras akan lebih fokus pada soal HAM dalam perspektif
kesehatan, sulit membayangkan ia akan dapat menutup mata dan telinga
terhadap kematian Mikael Merani yang kini menjadi sorotan para pemerhati
HAM dan tampaknya juga akan menjadi perhatian dunia.
Lebih
jauh, hal itu juga diyakini akan semakin membuka pintu bagi Puras untuk
lebih dalam menelisik pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua yang selama
ini terjadi.
Aktivis HAM dan Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan
Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy,
mengatakan kunjungan Pelapor Khusus PBB ke Papua kali ini harus disambut
apa adanya dan tak perlu ditutup-tutupi.
Ia
juga mengharapkan Pemerintah Indonesia dan pemerintah Provinsi Papua
serta institusi keamanan setempat memberikan dukungan serta akses
seluas-luasnya kepada Puras untuk dapat menjalankan tugasnya secara
maksimal selama berada di Jayapura.
Ia
mendesak agar rencana pertemuan Pelapor Khusus PBB tersebut dengan
saksi, korban dan tokoh agama maupun organisasi masyarakat sipil dapat
dilakukan secara damai tanpa intervensi pemerintah maupun institusi
keamanan setempat.
Dia
sendiri mengatakan akan turut menghadiri kunjungan Pelapor Khusus PBB
tersebut dan memastikan kunjungan itu berlangsung dengan baik dan tanpa
tekanan (intimidasi) dari manapun atau oleh siapapun.
Sangat
disayangkan bila benar, bahwa kunjungan Puras ke Papua dibatasi hanya
24 jam. Padahal informasi awal mengatakan ia akan berada di Papua mulai
29 Maret hingga 31 Maret 2017.
Kendati demikian kita berharap Puras dalam waktu yang singkat itu, dapat memotret dengan cermat situasi HAM di Papua.
Sumber: satuharapan.com
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.