JAKARTA, PACEKRIBO - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) menemukan adanya dugaan
pelanggaran HAM saat polisi menggerebek asrama mahasiswa Papua Kamasan I
beberapa waktu lalu.
Wakil ketua Komnas HAM Ansori Sinungan mengatakan,
temuan delapan pelanggaran ini didapat setelah meminta keterangan dari sejumlah
pihak, di antaranya LBH Yogyakarta, mahasiswa Papua selaku pihak korban,
Gubernur DI Yogyakarta, dan Kapolda DI Yogyakarta yang didampingi Kapolresta
Yogyakarta dan jajarannya.
Selain itu, juga data, fakta, dan informasi yang
diperoleh dari mitra-mitra Komnas HAM di lapangan.
Adapun delapan pelanggaran tersebut yakni:
Pertama, terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan
berpendapat. Padahal kebebasan berkekspresi dan berpendapat diatur
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun
2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 9 Tahun 2008
tentang kemerdekaan menyatakan pendapat di depan umum.
Kedua, adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
oknum polisi terhadap mahasiswa Papua di luar lingkungan asrama. Ansori
mengatakan, tindakan penganiayaan dan penyiksaan secara sadar dan sengaja
merupakan tindakan pelanggaran HAM.
Itu diatur UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik,
dan UU No.5 Tahun 1998 tentang Rativikasi Konvensi Anti Penyiksaan.
Ketiga, adanya tindakan ujaran kebencian (hate
speech) berupa kekerasan verbal yang mengandung unsur rasisme.
Tindakan tersebut dilakukan oleh Anggota Ormas.
"Saat peristiwa pengepungan ada kata-kata rasial," ujar Ansori di
Kantor Komnas Ham, Jumat (22/7/2016).
Menurut Ansori, tindakan tersebut bertentangan dengan
UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Keempat, terjadinya tindak intoleran oleh kelompok
ormas. Kelompok tersebut datang ke depan asrama mahasiswa Papua lalu berorasi
dan melakukan tindakan hate speech rasial.
"Kejadian ini disaksikan oleh aparat keamanan.
Tidak adanya pencegahan atas kedatangan ormas yang berkumpul dan berorasi tanpa
ijin di depan aparat keamanan merupakan suatu tindakan pembiaran," kata
dia.
Ketujuh,
adanya tindakan excessive use of power
oleh Aparat Kepolisian. Ia menjelaskan, dalam peristiwa itu ada pengerahan
jumlah aparat yang berlebihan.
"Penggunaan
senjata dan tembakan gas air mata yang diarahkan ke dalam Asrama
Mahasiswa," kata Ansori.
Kedelapan,
terkait pernyataan Gubernur DIY tentang separatisme tidak boleh ada di
Yogyakarta. Ia mengatakan, pernyataan tersebut sangat multi tafsir karena tidak
ditujukan kepada individu yang melakukan separatisme, namun dapat dimaknai
bahwa pernyataan tersebut ditujukan kepada orang Papua, khususnya yang sedang
menjalani studi di Yogyakarta.
Menurut
Ansori, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X harusnya memastikan adanya
penghormatan terhadap HAM dan juga perlindungan terhadap warga negara.
"Sri
Sultan Hamengku Buwono sebagai Raja Jawa bagi masyarakat DIY yang feodal dapat
dicerna sebagai sebuah titah atau sabda Raja oleh Masyarakat Yogyakarta,"
kata Ansori.
Menurut dia,
penyataan tersebut dikemudian hari dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan 25
ormas di DIY untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hak
asasi manusia.
Ansori
mengatakan, Komnas HAM akan merekomendasikan Pemerintah Pusat, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pemprov Yogyakarta dan pihak lain yang
terkait, untuk melakukan tindakan hukum dan langkah pencegahan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini
menjadi kewenangan Komnas HAM sebagai Lembaga Negara yang bertugas menjalankan
fungsi pengawasan terhadap pemajuan dan Penegakan Ham sebagaimana dimandatkan
oleh UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Penggerebekan
Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, di Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta pada
Jumat (15/07/2016) siang berawal dari rencana aksi damai mahasiswa Papua dan
aktivis pro-demokrasi mendukung Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua
Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Namun,
kegiatan itu batal dilaksanakan lantaran lebih dahulu dibubarkan oleh ratusan
personel gabungan dari Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Brigade Mobil, dan
organisasi masyarakat.
Di
antaranya, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia,
Pemuda pancasila, Paksi Katon, dan Laskar Jogja. Mereka mendatangi Asrama
Mahasiswa Papua sejak pagi hingga sore hari.
Atas hal tersebut, Komnas HAM menyatakan peristiwa ini
sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia melalui tindakan pembiaran oleh
aparat.Tindakan tersebut bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Kelima, Pemerintah Daerah Provinsi istimewa Yogyakarta
belum memberikan jaminan kebebasan dan jaminan atas rasa aman bagi Mahasiswa
Papua. Menurut dia, langkah-langkah kongkrit seperti Peraturan Daerah,
Instruksi Gubernur, dan pernyataan-pernyataan untuk mencegah dan mengatasi
tindakan rasisme terhadap warga Papua belum ada.
Padahal, dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah
terjadi stigma terhadap Mahasiswa Papua dan adanya Papua phobia di kalangan
ormas dan masyarakat DIY.
Keenam, adanya fakta terjadinya penangkapan dan
penahanan terhadap delapam mahasiswa Papua oleh Aparat Kepolisian. "Satu
diantaranya ditetapkan sebagai tersangka," kata Ansori.Menurutnya,
tindakan tersebut dilakukan tanpa menunjukkan dua alat bukti yang kuat.
Tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip
penegakan hukum yang berkeadilan dan non diskriminasi sebagaimana ketentuan UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.12 Tahun 2005 Tentang
Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.(kompas.com)
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.