puluhan mahasiswa Papua di Jakarta berdemonstrasi mendesak Kapolri agar
mencopot Kapolda Papua dan Kapolres Nabire, Jumat (17/2/2017) - Jubi/Kyoshi
Rasiey
|
SURABAYA, PACEKRIBO - Puluhan Mahasiswa Papua
yang berdomisili di Jakarta dan Bandung, Jumat (17/2/2017) berdemo di depan
kantor Baharkam Mabes Polri di jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Puluhan
mahasiswa yang menamakan diri mereka "mahasiswa dan masyarakat Papua
peduli pelanggaran HAM dan Kekerasan di tanah Papua" ini mendesak Kapolri,
Jenderal Tito Karnavian untuk meencopot Kapolda Papua, Irjenpol Paulus
Waterpauw dan Kapolres Nabire, AKBP Semmy Ronny Thabaa.
"Sekalipun
19 tahun reformasi telah berjalan di Indonesia, sampai dengan saat ini situasi
kekerasan terhadap Hak Asasi Manusia Papua (HAM) sama sekali tak berubah.
Pendekatan kekerasan oleh negara makin membudaya di Papua, pos-pos militer
makin banyak. Juga rencana pembangunan Markas Komando (Mako) Brimob di Wamena,
setelah adanya Polda Papua Barat. Padahal penolakan terhadap pembangunan Mako
Brimob ini sudah bergulir sejak 2015 hingga sekarang," kata Musa Haluk,
kordinator aksi demo ini.
Haluk
menambahkan, pendekatan kekerasan oleh negara melalui aparat kemananan terus
menyebabkan situasi ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah. Pada
bulan Desember 2016 - Januari 2017 ini, masyarakat Papua di Dogiyai merasa
sangat tertekan dengan keberadaan aparat keamanan yang melakukan sweeping liar.Dalam
sweeping tersebut terjadi penganiayaan terhadap beberapa masyarakat.
"Polisi
juga melarang masyarakat berkumis panjang serta membawa pisau dan parang.
Padahal masyakat membutuhkan alat itu, untuk berkebun sebagaimana masyarakat
Papua pada umumnya sebagai peramu dan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari," lanjutnya.
Tampak
dalam aksi demo ini, pamplet dan poster yang berisi tuntutan mahasiswa,
diantaranya bertuliskan "Kapolri segera mencopot Kapolda Papua, sebab
ruang demokrasi di Papua makin mengenaskan" dan "Kapolri Segera
mencopot Kapolres Nabire yang telah menyebabkan keresahan terhadap masyarakat
di Dogiyai, Papua".
"Rakyat
Papua sama sekali tak membutuhkan Markas Brimob di Wamena," tegas Haluk.
Ia
juga mendesak kepolisian untuk memproses segera anggota polisi di Papua yang
melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua.
Penolakan
masyarakat di wamena atas pendirian Mako Brimob ini memang sudah berlangsung
cukup lama. Masyarakat di Wamena pada dasarnya merasa khawatir pendirian Mako
Brimob ini akan memperpanjang trauma yang pernah dialami masyarakat karena
kekerasan yang dilakukan aparat keamanan.
"Dari
hasil investigasi yang kami lakukan ternyata ada aspirasi penolakan dari
sejumlah mahasiswa dan masyarakat terkait pembangunan Mako Brimob dikarenakan
beberapa hal diantaranya karena trauma yang panjang dan masyarakat sudah tidak
percaya lagi pada aparat TNI/Polri di Papua," kata Hendrik Gwijangge,
Ketua Lembaga Investigasi dan Informasi Kemasyarakatan (LIDIK).
Dalam
kegiatan sosialisasi Mako Brimob di awal tahun 2016 lalu, Brigjen Pol Rudolf
Albert Rodja, yang saat itu menjabat Wakapolda Papua, mengatakan bahwa
kehadiran mako brimob bukan untuk menakuti masyarakat.
“Kehadiran
Brimob di Wamena sini bukan hanya untuk mengawal tindakan kejahatan saja, tetapi
di mana ada masyarakat di situ polisi hadir. Yang pasti, Brimob hadir bukan
untuk menakut-nakuti masyarakat,” katanya saat itu.
Ia
mengatakan dengan kehadiran Brimob, jika satu saat wilayah pegunungan tengah
membutuhkan kehadiran Brimob yang selama ini dianggap mahal, Polda papua tidak
harus mendatangkan Brimob dari Jayapura lagi, sehingga biayanya lebih murah dan
secara taktis lebih bagus. (www.tabloidjubi.com)
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.