Steven Itlay, tiba di kantor PRD dan KNPB wilayah Timika Setelah bebas. (Dok KNPB) |
JAYAPURA, PACEKRIBO
- Pada 11 Februari 2017, Steven Itlay, ketua Komite Nasional Papua
Barat (KNPB) Wilayah Timika akhirnya kembali menghirup udara bebas setelah
ditahan polisi kolonial Indonesia sejak 5 April 2016 di halaman gereja SP 13,
Mimika, Papua.
Steven
ditangkap dan dipenjarakan di penjara kolonial Indonesia dengan tuduhan makar.
Ia ditangkap bersam Yus Wenda yang telah bebas lebih dulu beberapa waktu lalu.
Keduanya ditangkap di Jln. Mulia SP 13, Distrik Kuala Kencana, Timika
saat aparat membuarkan ibadah yang hendak digelar bersama rakyat Papua Barat
dalam rangka mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)
menjadi anggota penuh MSG.
Soon Tabuni,
aktivis KNPB Timika kepada suarapapua.com mengatakan, Steven dibebaskan setelah
menjalani hukuman penjara selama 10 bulan.
“Besok tuan
Steven akan dibebaskan dari LP Timika. Karena dia sudah menjalani masa hukuman
selama 10 bulan, katanya.
Kronologis
Penangkapan
Pada pukul
09.00, KNPB wilayah Timika menggelar kegiatan “Doa Pemulihan Bangsa Papua”
untuk mendukung ULWMP menuju keanggotaan penuh di MSG. Kegiatan tersebut
digelar di halaman Gereja GKII Golgota SP 13, Distrik Kuala Kencana.
Pada pukul
11.33 ketika kegiatan tersebut masih berlangsung, aparat gabungan TNI/Polri
datang ke panggung dan menarik kerah baju Steven Itlay, kemudian mencekiknya
sambil menariknya turun dari panggung. Aparat keamanan juga melepaskan beberapa
tembakan peringatan, hingga keadaan menjadi ricuh. Aparat keamanan menurunkan
semua atribut KNPB seperti bendera KNPB dan bendera negara-negara MSG. Puluhan
orang ditendang dan dipukul dengan popor senjata. Ismael Tempi ditelanjangi dan
baju lorengnya disita oleh aparat keamanan.
Barang-barang
tidak berbahaya yang disita adalah sebagai berikut: 16 buah spanduk, 23 buah
bendera lambang KNPB dan sebuah bendera Bintang Kejora, tiga stel baju PDL
loreng, sejumlah sepatu PDL, sejumlah baret merah dan baret hijau, sembilan
buah kayu balok bermotif Bintang Kejora, sebuah baju Bintang Kejora, sebuah
selempang Bintang Kejora, sebuah topi rimba loreng, sebuah topi mut loreng,
sebuah kamera DSLR, tiga buah noken, dua buah kopel TNI dan dua buah tas
samping.
Nama 15
orang yang ditangkap dan dibawa ke Polres Mimika adalah Steven Itlay, Manok
Tabuni, Yanto Awerkyon, Stevanus Edoway, Alexander Demi, Yanus Murib, Modim
Demi, Paulus Dawan, Anton Boby, Yus Wenda, Jhon Diman Kogoya, Niko Sada, Simion
Asso, Anis Elipore dan Sem Ukago.
6 April
2016:
13 dari 15
orang yang ditangkap dibebaskan. Namun Yus Wenda dan Steven Itlay masih ditahan
di Polres Mimika. Yus Wenda dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP dan pasal 212
KUHP tentang penganiayaan karena dia diduga memukul Kapolres Mimika. Steven
Itlay dikenakan pasal 106 KUHP jo pasal 53 KUHP dan subsider pasal 160 KUHP
tentang makar.
9 April
2016:
Anggota KNPB
Timika datang menjenguk Yus Wenda dan Steven Itlay ke Polres Mimika, namun
tidak menemukan Steven Itlay. Setelah didesak, Polres Mimika mengeluarkan surat
keterangan pemindahan Steven Itlay ke rumah tahanan Brimob di mile 32 yang
sangat jauh jaraknya dari keluarga dan Timika.
Upaya Polisi
Kolonial Kriminalisasi Steven
Setelah Yus
Wenda dan Steven ditangkap, Steven diancam pasal makar. Ia dituduh melakukan
upaya makar. Hal itu tidak terbukti dalam persidangan di Pengadilan Negeri
Timika. Sedangkan Yus Wenda dituding melakukan penganiayaan terhadap aparat
yang saat itu melakukan pembubaran paksa ibadah yang hendak digelar di halaman
gereja, SP 13, Kuala Kencana, Timika.
Polisi
kolonial Indonesia menangkap Yanto Arwakian dan Sem Ukago pada 12 juli
2016. Keduanya ditangkap Brimob di Jalan Kwangki Lama, SP 1 saat
membangikan selabaran. Yanto dan Sem dibawa dan ditahan di ahanan mako
Brimob di Mile 32, Distrik Kuala Kencana, Timika.
Penangkapan
Sem dan Yanto diduga terpaksa dilakukan aparat kepolisian kolonial Indonesia
karena tak cukup bukti dan saksi untuk menjerat Steve Itlay. Hal itu terbukti
dengan penahanan Steven terus diperpanjang tanpa sidang hingga empat bulan 11
hari atau 131 hari tanpa proses persidangan yang dilalui Steven.
Untuk
memperkuat bukti, polisi terus mencari bukti. Yanto dan Sem steelah ditangkap
ditahan di Mako Brimob dengan alasan tahan Polisi tidak cukup. Namun,
sesungguhnya yang dilakuka adalah meninterogasi keduanya untuk mengaku bahwa
Steven melalukan tindakan makar.
“Saya dan
Yanto ditangkap lalu dibawah ke Mako Brimob. Di sini kami diisolasi di ruangan
tanpa ventilasi. Tidak ada air. Kami juga tidak diberikan makan,” kata Sem
Ukago kepada media ini kala itu.
Pada hari
Sabtu tanggal 20 Agustus sekitar pukul 07.00 Yanto dan Sem dipindahkan
dari tempat isolasi di tahanan Brimob ke rumah tahanan Polres Timika di Kwamki
Baru, Timika.
Yanto
dan Sem Bebas Demi Hukum
Gustaf
Kawer, kuasa hukum yang menangani Steven Itlay, ketua KNPB wilayah Timika, Yus
Wenda, Yanto Awerkyon dan Sem Ukago mengatakan Sem Ukago adan Yanto Awekyon
aktivis KNPB wilayah Timika, Tapol di Timika hari ini bebas demi hukum dari
rutan Polres Timika.
Sem Ukago
dan Yanto Awerkyon telah dibebaskan tadi malam pukul 12:00 WP karena masa
penahanan keduanya telah mencapai 120 sejak ditahan tanggal 12 Juli hingga 8
November 2016. Selama 120 hari, Polisi tidak menemukan barang bukti terkait
pasal Makar 106 dan penghasutan 160 KUHP yang selama ini dijadikan senjata oleh
kolonial Indonesia untuk menjerat para aktivis Papua Barat.Keduanya dibebaskan
setelah ditahan selama tiga bulan.
Yus Wenda
Divonis
Yus Wenda,
aktivis KNPB wilayah Timika yang ditahan bersama Steven Itlay divonis. Yus
Wenda dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP dan pasal 212 KUHP tentang penganiayaan
karena dia diduga memukul Kapolres Mimika.
Setelah
divonis, Yus tidak menjalani hukuman di LP Timika. Tetapi Yus menjalani hukuman
penjara 10 bulan bersama dengan Steven di rumah tahanan polisi kolonial
Indonesia di Polsek Mimika Baru. Polisi tidak menjelaskan mengapa Yus ditahan
di tahanan Polisi sedangkan Yus sudah divonis dan sesuai aturan harus menjalani
hukuman di LP.
Ketua umum
KNPB Pusat, Victor Yeimo mengatakan polisi kolonial Indonesia dari awal
penangkapan Yus dan Steven sudah tidak benar dan tidak sesuai dengan prosedur
hukum kolonial indonesia. Yus hanya dituduh, seteven juga dituduh tanpa polisi
bisa membuktikan benar mereka bersalah.
“Yus tidak
bikin apa-apa ke polisi. Tapi dia ditahan dan sekarang sudah divonis. Steve
dituduh melakukan makar. Tapi sampai sekarang polisi tidak bisa membuktikan
itu. Polisi malah menangkap aktivis KNPB lagi untuk menjadikan saksi untuk
Steven,” katanya.
Menurut
Yeimo, Yus masih ditahan di rumah tahanan polisi. Aturan hukumnya, kalau
seorang tahanan sudah selesai menajalani persidangan dan sudah dijatuhkan vonis
oleh pengadilan, harusnya ditempatkan di Lapas, bukan di rumah tahanan polisi
lagi.
“Lagi-lagi
aparat penegak hukum perkosa hukum dan aturannya sendiri. Kami minta aparat
penegak hukum bertanggungjawab atas penahanan Yus di rumah tahanan Polisi. Di
Lapas Timika masih bisa terima narapidana. Tapi ini ada apa? Alasannya apa?
Harus jelas,” tegas Yeimo.
Yus Wenda,
telah bebas pada 31 Januari 2017 setelah menjalani hukuman penjara setelah
ditangkap polisi kolonial Indonesia pada 6 April 2016 bersama Steven Itlay,
ketua KNPB Timika di halaman gereja SP 13, Timika, Papua saat hendak melakukan
ibadah bersama rakyat Papua.
Yus Wenda
dituduh melakukan penganiayaan kepada aparat saat terjadi pembuabaran paksa dan
penangkapan terhadap Steven Itlay. Ia dituduh dengan pasal 170 KUHP dan divonis
10 bulan di pengadilan negeri Timika pada 30 Agustus 2016 dengan nomor putusan
65/Pid.B/2016/PN.Tim.
Menurut
Kuasa Hukum, Gustaf Kawer, proses hukum terhadap Yus Wenda harusnya tidak
dilakukan. Karena apa yang dilakukan Yus pada saat pembubaran paksa ibadah di
halaman gereja merupakan respon dari tindakan polisi.
Hingga
dibebaskan, Yus Wenda tetap ditahan dan menjalani hukuman di rumah tahanan
polisi di distrik Mimika Baru.
Persidangan
Steven dan Kesehatannya
Pada Mei
2016, setelah mendekam di rumah tahanan (Rutan) Brimob Mimika di Mile 32,
kondisi Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Timika, Steven
Itlay dilaporkan semakin memburuk. Ia mengalami gangguan kesehatan akibat
ruangan penjara yang buruk. Sementara itu aparat kepolisian membatasi akses
bagi keluarga dan kerabat untuk mengunjunginya.
Hingga
Agustus 2016 peroses persidangan terhadap Steven belum digelar. Pada hari ke130
atau setelah menjalani masa penahanan kepolisian selama empat bulan 11
hari, sidang tidak juga digelar.
Steven Itlay
mengungkapkan sudah lebih dari 130 hari ia ditahan di tahanan kepolisian sejak
ditahan pada 6 April 2016 di halaman gereja Golgota, SP 13, Timika Papua saat
hendak melakukan ibadah bersama rakyat Papua. Steven dituduh melakukan makar
dan penghasutan yang diancam dengan pasal 160 KUHP.
“Sejak saya
ditahan sampai hari ini sudah 131 hari di tahanan Polres Mimika,” ungkap Itlay
kepada suarapapua.com pada Agustus lalu.
Selama
menjalani proses persidangan Steven Itlay, masyarakat yang hendak
menyaksikan proses persidangan di pengadilan Negeri Mimika beberapa
dihalang-halangi aparat.
Aparat
beralasan tempat atau ruang sidang tidak cukup. Tidak hanya berhenti di situ.
Aparat juga memobilisasi massa yang kontra dengan massa rakyat Papua Barat yang
datang untuk menyaksikan persidangan Steven Itlay.
Massa yang
dimobilisasi aparat tersebut beberapa kali mendatangi Pengadilan Negeri Timika
dan juga melakukan orasi di sekitar halaman. Sedangkan massa rakyat Papua Barat
dibatasi.
Pada sidang
perdana Steven, pemandangan di dalam kantor PN Timika berbeda dari hari
biasanya. Tak terlihat satupun pegawai pengadilan di kantor mereka. Biasanya
sering berkeliaran, hari ini tidak lagi.Hampir semua pintu dijaga ketat aparat
keamanan bersenjata lengkap dan siap mengeksekusi siapapun jika terjadi keributan
dan lain-lain.
Meski
situasi tegang diciptakan sedemikian rupa, bahkan kecewa tak diijinkan masuk
untuk saksikan jalannya sidang, massa orang Papua akhirnya membubarkan diri
dengan tenang pada Pukul 14.30 WIT. Mereka kembali ke kantor KNPB di Bendungan
Timika.
Sementara,
sidang diundur ke hari Rabu 28 September 2016 dengan agenda pemeriksaan sisa
saksi dari 17 saksi, termasuk memeriksa Steven Itlay yang dituduh melakukan
makar dalam kegiatan ibadah bersama mendukung ULMWP di London tanggal 6 April 2016.
Pada sidang
2 November 2016, barang bukti buat kasus Steven Itlay jauh dari kasus
sebenarnya dan hanya dalam rangka mengekang tuntutan rakyat Papua mengenai
peninjauan kembali keabsahan PEPERA 1969 dan New York Agreement 15 Agustus
1963.
Dalam hal
ini hakim diminta agar melihat substansi masalah yang sebenarnya yaitu
pernyataan Steven Itlay di panggung saat ibadah di SP 13 Timika, bukan
menggunakan saksi yang menipu dan barang bukti yang tidak sah tanpa video
pernyatan Steven Itlay. Karena kasus ini sama sekali tidak ada hubungan dengan
pasal mengenai makar dan penghasutan.
Kemudian
mengenai pengulangan atau Residivis, Steven Itlay tidak pernah dihukum atas
kasus melawan negara, namun itu hanya merupakan tuduhan hukum Indonesia atas
tuntutan referendum bangsa Papua Barat yang dimediasi oleh KNPB. Referendum
hanya sebuah istilah tanpa paksaan dan bukan istilah makar, namun mengandung
arti hak bebas dan bagian dari Demokrasi dan HAM.
Steven
Dituntut 18 Bulan
Steven Itlay
dituntut satu tahun enam bulan penjara oleh jaksa penuntut umum dari pengadilan
negeri Timika dalam persidangan yang digelar pada 2 November 2016.
Gustaf
Kawer, ketua tim kuasa hukum terdakwa Steven Itlay saat menghubungi
suarapapua.com dari Timika menjelaskan, jaksa penuntut umum menuntut satu tahun
enam bulan penjara. Kata Gustaf, pihaknya berpendapat bahwa massa yang
dimediasi oleh KNPB itu hanya sebatas ibadah. Kawer berpendapat, yang
dilakukan oleh Steven adalah kumpulkan massa yang dimediasi oleh KNPB di
halaman gereja itu hanya sebatas ibadah.
“Kalau
ibadah saja, sesuai dengan UU di Indonesia ini tidak bisa dilarang maupun
dibatasi oleh aturan dan UU manapun. Karena apa yang dilakukan oleh aparat ini
menutup ruang kebebasan berpendapat. Jadi, intinya bahwa yang dilakukan oleh
Steven dan KNPB Timika itu tidak melakukan pelanggaran,” tegas Kawer kepada
suarapapua.com tidak lama ini.
Ia juga
mengatakan, barang bukti yang diajukan oleh kejaksaan di pengadilan itu tidak
ada. Barang-barang yang dihadirkan dalam persidangan tidak ada di lapangan
tempat ibadah dilakukan.
“Barang-barang
yang dihadirkan oleh kejaksaan dalam persidangan itu tidak ada di lokasi
kejadian atau di tempat ibadah. Itu tidak tahu barang-barang dari mana,” ungkap
Kawer.
Selain itu,
barang bukti berupa bendera dari beberapa negara yang dihadirkan dalam
persidangan juga bukan bendera tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan
melawan negara yang bisa mengarah kepada perbuatan makar.
Pelanggaran
Hukum yang dilakukan oleh Indonesia:
1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 28E
ayat (2), pasal 28G ayat (1) dan (2), pasal 28I ayat (1), (2), (3), (4), (5)
tentang hak atas kebebasan berekspresi dan hak untuk tidak disiksa.
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998
tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia; atas
perlakuan kepolisian di Timika dan Yahukimo.
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik;
atas penghadangan dan upaya pembubaran aksi yang dilakukan oleh aparat
keamanan.
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum pasal 2, pasal 5, pasal
7.
5. Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012
tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan
Penyampaian Pendapat di Muka Umum pasal 3, pasal 5, pasal 9, pasal 26, pasal
27, pasal 28; karena tindakan yang dilakukan oleh kepolisian tidak proporsional
dan profesional dalam penanganan aksi.
6. KUHP pasal 351 yakni tentang
penyiksaan; atas penyiksaan yang dilakukan di Yahukimo.
7. Doktrin hukum pidana yang melarang
polisi untuk menahan tahanan dengan incommunicado tanpa alasan yang jelas;
seperti kasus pengisolasian Steven Itlay di Timika.
Steven Itlay
divonis 18 bulan penjara dalam putusan majelis hakim yang dibacakan oleh
hakim ketua (PN) kota Timika , Relly D Behuku SH, MH didampinggi hakim anggota
fransiscus Y Babthista SH dan Steven Walukow. Dalam putusan tersebut
disebutkan sesuai fakta melanggar pasal 106 KUHP, yakni melakukan pasal
penghasutan dimuka umum sehingga di vonis 18 bulan (1.6 bulan) penjara
oleh Jaksa penutut. Atas tuntutan tersebut pengacara Steven Itlay pak
gustaf Kawer, SH merasa keberatan dan mengajuhkan banding karena tidak
ada pembuktian makar.
Sama dengan
Yus Wenda, setelah divonis 18 bulan penjara, Seteven menjalani hukuman di
di tahanan polsek miru timika pada bulan November 2016 lalu bukan di LP Timika.
Steven Itlay
Bebas
Pada 10 Februari
2017, ketua KNPB Timika, Steven Itlay menghirup udara segara. Soon Tabuni,
kepada saurapapua.com mengatakan, setelah dibebaskan, ratusan massa menjemput
Itlay di LP Timika.
Tabuni
mengatakan, polisi Indonesia juga turut menghantar Steven hingga di kantor KNB
dan PNWP di Timika.
“Kami sudah
jemput dan antar Steven pulang. Waktu kami pulang dikawal polisi. Polisi
mengendarai dua Mobil Patroli Extrada dan dua Mobil Avanza dan satu buah Mobil
Dalmas tetus mengikuti masa dari belakan hingga tiba di kantor OPM,” katanya.
Ketua PNWP
Bomberai, Romario Yatipai bertepatan dengan hari dibebaskannya Steven, melalui
akun facebooknya menulis, selamat datang kembali di jalan kita jalan bangsa
Papua.
“Engkau
telah didaulat oleh NKRI dengan gelar Perusak, Pembunuh, Pemukul, Pengacau,
Penghancur dan bahkan dicap sebagai Penghianat NKRI dalam Penjara Kecil akan
tetapi hari ini 11 February 2017 Bangsa Papua menyambut Engkau sebagai “Pejuang
Bangsa Papua yang sejati di Penjara Besar,” tulisanya.
Lanjut dia,
“kawan tetap kawan, kakak tetap kakak, bapak tetap bapak, mama tetap mama, adik
tetap adik. siapkan kekuatan rakyat untuk kita rebut kedaulatan bangsa Papua
yang dimulai dari Bomberai bersama PNWP Fraksi Bomberai dan KNPB Wilayah
Bomberai,” ktanya.
Selain itu,
Agus Kossay, Ketua I KNPB Pusat menyambut pembebasan Steven. Kossay mengucapkan
selamat datang tuanku Steven Itlay dari penjara tua kecil penguasa kolonial
indonesi ke penjara besar untuk menderita bersama rakyat West Papua.
Pewarta:
Arnold Belau/suarapapua.com
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.