Ilustrasi foto |
PACEKRIBO - Saya agak gerah dengan pemberitaan mengenai
diplomat cantik yang menjadi viral di media sosial. Katanya diplomat yang
bernama Nara ini 'mempermalukan' 2 Presiden dan 4 PM di Sidang PBB berkaitan
dengan pelanggaran HAM di Papua.
Bukan
rahasia umum lagi, bahwa media menjadi perpanjangan tangan kepentingan
pemerintah. Oleh karena itu, pemilihan diksi untuk headline media pun dibuat
bombastis. "Diplomat Cantik". Seakan kata 'cantik' bisa membeli
kesadaran warga Indonesia untuk mendukung penipuan dan penindasan yang
dilakukan pemerintah Indonesia terhadap bangsa Papua sejak tahun 1960.
Pada
Sidang Umum PBB tersebut, pemimpin enam negara di Pasifik menyerukan
kemerdekaan Papua karena Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia di
provinsi Papua dan Papua Barat. Namun menurut Nara sang diplomat, para pemimpin
negara Pasifik tersebut bermotif politik demi mendukung kelompok separatis dan
tidak mengerti pesoalan Papua dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Mereka menggunakan Sidang Majelis Umum PBB untuk mengalihkan perhatian dunia
terhadap masalah sosial dan politik di dalam negerinya.
Nara
adalah representasi negara kita yang sering membohongi rakyat. Dia lupa, saat
berbicara mengenai kejahatan kemanusiaan berupa pelanggaran HAM, hal ini
menjadi urusan universal yang artinya menjadi urusan seluruh dunia. Itulah
mengapa dunia membuat Deklarasi UNIVERSAL Hak-Hak Asasi Manusia. Dan sudah
menjadi hak serta kewajiban negara-negara lain untuk 'mencampuri urusan' HAM
Indonesia. Kenapa kesannya Nara begitu defensif dan reaksioner?
Jika
Nara sebagai representasi pemerintah Indonesia dengan bangganya berkata bahwa
urusan HAM orang Papua adalah urusan dalam negeri Indonesia, dia sudah
berbohong. Apa benar urusan HAM orang Papua sudah ditangani? Perlu diketahui
bahwa terdapat ratusan ribu pusara korban pelanggaran HAM dari sedikitnya 44
operasi militer di Papua sejak 1963. Di empat wilayah Papua: Biak, Manokwari,
Paniai, dan Sorong, terdapat 749 jenis kejahatan HAM terhadap 312 laki-laki dan
56 perempuan yang berhasil didata. Belum termasuk 4146 korban jiwa lainnya
selama operasi militer 1977-1978 di sekitar Wamena, Pegunungan Tengah, Propinsi
Papua. Mayoritas pusara itu tidak bernama, peristiwa-peristiwa yang
mengiringinya sebagian kecil saja menjadi berkas yang ditumpuk-tumpuk di KOMNAS
HAM, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi HAM PBB, UNI Eropa dan kedutaan-kedutaan
besar.
Dan
hingga kini sebagian kecil berkas itu pun tidak coba dicari baik-baik dan
dipelajari kembali. Tidak tampak usaha negara untuk benar-benar menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM di Papua. Negara hanya peduli dengan upaya mempertahankan
PT.Freeport. Negara hanya sibuk memuluskan kepentingan para investor asing demi
proyek Merauke Integrated Food & Energy Estate yang merampas tanah adat
warga Papua seluas 2,5 juta hektar serta proyek Kawasan Sentra Produksi Pertanian
seluas 1,2 juta hektar.
Bukti
negara tidak pernah hadir bagi rakyat Papua terlihat dari tindakan represif
aparat terhadap kebebasan berekspresi orang Papua di Jogjakarta beberapa bulan
lalu. Juga keberadaan 66 tahanan politik tidak diakui negara. Papua menjadi
daerah operasi militer dari 1963 sampai 1996/1997, sementara operasi-operasi
tanpa status terus terjadi hingga sekarang. Militerisme begitu kuat bercokol
demi mengamankan aset-aset ekonomi Indonesia di Papua. Siapapun warga Papua
yang mencoba mempertanyakan keberadaan Indonesia dan semua aset itu, akan
dilabel sebagai separatis dan dilibas mati.
Karena
ketiadaan negara inilah kemudian memicu inisiatif dari negara-negara kepulauan
Pasifik untuk terlibat dalam advokasi penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.
Adalah Manasseh Sogavare, Perdana Menteri Kepulauan Solomon yang pada Februari
lalu mengatakan dirinya sudah meminta bertemu dengan Presiden Jokowi terkait
persoalan Papua, namun tidak ditanggapi. Perlu disadari, sebetulnya, sikap dan
peran negara-negara Pasifik yang saat ini sangat gencar membantu perjuangan HAM
di Papua, sama halnya seperti perjuangan pemerintah Indonesia membantu
kemerdekaan Palestina dari Israel, walau dengan kadar yang berbeda.
Namun
apa yang dilakukan Indonesia pada Palestina kadar pembelaannya lebih sedikit
dibanding Vanuatu dan Solomon lakukan terhadap Papua, walau motivasinya sama,
yakni membela hak politik bangsa terjajah. Dan lucunya, pemerintah Indonesia
adalah pemerintah yang paling pandai memilah-milah siapa yang bisa mendapatkan
HAM dan siapa yang tidak.
Ketika
pemerintah melalui diplomat penipu dan media pembodohan terus mendeklarasikan
diri bahwa Papua sudah diatasi, maka sebetulnya negara hanya sedang melakukan
penipuan pada diri sendiri dan khalayak umum. Sudah lama Indonesia menjalankan
strategi penipuan, selain kekerasan, semacam ini terkait Papua.
Dan
hal ini dimungkinkan karena ketidak(mau)tahuan warga Indonesia terhadap apa
yang sesungguhnya terjadi dan dirasakan oleh mayoritas orang Papua. Ditengah
dukungan rakyat dan gerakan sosial di Pasifik terhadap isu-isu Papua semakin
membesar, malah mayoritas warga Indonesia masih berpangku tangan bahkan
mendukung represifitas negara terhadap warga Papua.
Bila
ingin ada solusi yang elegan dan dihormati oleh publik internasional, lebih
baik pemerintah Indonesia berhenti melakukan penipuan dan bersikap selayaknya
negarawan yang mengerti apa itu demokrasi.
copyright
~☆Shei
REFERENSI
Masa
Lalu yang Tak Berlalu: Pelanggaran HAM di Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi
https://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-ELSHAM-Indonesia-Papua-2012-Bahasa.pdf
Genosida
Yang Diabaikan
http://www.humanrightspapua.org/images/docs/NeglectedGenocideAHRC-ICP2013lowres.pdf
Atlas
Sawit Papua
https://awasmifee.potager.org/?p=1198&lang=id
President
Joko Widodo refused to meet Sogavare
http://www.solomonstarnews.com/news/national/9640-president-joko-widodo-refused-to-meet-sogavare
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.