Ilustrasi |
“Menerima ketertindasan bukan untuk diam, tapi untuk dilawan. Karena
mengembalikan hak dasar perempuan Papua bukan tentang makan minum
tapi soal Identitas!“
WAMENA, PACEKRIBO - Perempuan Papua didefinisikan dengan banyak karakteristik. Ada
yang melihat dari segi fisik yang keras, pertahanan hidup bahkan perilaku dan interaksi
dengan masyarakat. Perempuan Papua hari ini sudah jauh dari
ketertinggalan-ketertinggalan dahulu yang dibuat oleh para penguasa
negara yang seakan menyikirkan keberadaan mereka. Ada dua perpektif yang bisa kita lihat dari persoalan-persoalan
perempuan Papua, yang bisa dilihat dari persoalan perempuan secara umum dan
khusus.
Perempuan Dalam Genggaman Kekuasaan
Dalam buku Perempuan, Agama dan Masa Depan Demokrasi, yang
ditulis oleh Banawiratma dijelaskan bahwa ketidakadilan terhadap kaum
perempuan terjadi dalam keluarga dan dalam pembagian kerja dan
keuntungan. Begitu pula dalam hidup beragama dan bermasyarakat tidak terdapat
persaudaraan yang sederajat. Sederajat atau setara tidak berarti bahwa
laki-laki dan perempuan sama saja. Perempuan dan laki-laki memang berbeda namun perbedaan
itu sebagai alasan untuk mendiskriminasikan tidak dapat diterima. Banyak sekali
perempuan mengalami pelecehan, kekerasan dan diperlakukan sebagai komoditi (barangjualan)
(Banawiratma, 2007).
Padahal jika kita tinjau ke belakang, pergerakan perempuan sudah dimulai
dari abad ke-17. Berawal dari negara-negara di Eropa yang menyadari
bahwa perempuan selalu dirugikan dalam lingkungan kehidupan dalam
menjalankan hak-hak sebagai manusia.
Salah satu pakar sejarah, Philip. J. Adler dalam bukunyaWorld
Civilmenggambarkan bagaimana kekejaman masyarakat barat dalam
memandang dan memperlakukan perempuan.Sampai pada abad ke-17,
masyarakat Eropa secara umum pemerintah dan para kaum laki-lakimasih
memandang perempuan sebagai jelmaan setan (roh jahat) atau alat bagi
setan untuk menggoda manusia dan meyakini bahwa sejak awal penciptaannya,
perempuan merupakan ciptaan yang tidak sempurna.
Dari kedua pemikiran di atas menunjukkan sesungguhnya
perlawanan dan penolakan terhadap perilaku tidak adil, dilakukan sejak lama
namun, pada prakteknya masih ada kompromi-kompromi karena ada keterikatan
terhadap budaya. Baik dari budaya lokal, mau pun budaya modern saat ini.
Sedangkan Banawiratma hendak menjelaskan bahwa sampai hari ini
masih ada sekat-sekat yang dibuat di kalangan masyarakat majemuk untuk
membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Adapun benang merah dari kedua pemikiran ini yang juga adalah budaya
patriarki. Patriarki berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: pater artinya
bapak dan arche artinya kekuasaan. Sehingga patriarki
merupakan kekuasaan bapak (kaum laki-laki) yang mendominasi, mensubordinasikan
dan mendiskriminasikan kaum perempuan. Cara hidup pun menjadiandrosentris yaitu andro yang
berasal dari bahasa yunani laki-laki dan sentrum yang artinya
pusat, sehingga laki-laki menjadi pusat segala kehidupan dan perempuan
dimarginalkan.Patriarki merengut hak-hak dasar perempuan sebagai manusia
seutuhnya. Bahkan kasus budaya patriarki juga merajalela di kalangan
masyarakat Papua.
Dalam Jurnal Kasniah yang diterbitkantahun 2006, dijelaskan mengenai
kondisi kesehatan perempuan-perempuan di Lembah Baliem sangat
memprihatiankan.
Kurangnya jaminan ekonomi bagi wanita di lembah baliem akan menjadikan
kondisi yang serius selama musim kemarau panjang, penduduk menjadi kelaparan,
krisis itu tampak pada dimensi gender.
Bila dihitung dengan mata pencaharian, kegiatan sehari-hari dan konsumsi
sangat ditentukan secara kulturalberdasarkan status, peranan
dan posisi wanita dalam keluarga.
Dalam jurnal tersebut juga mendiskripsikan bagaimana dalam pembagian
tugas dalam tatanan kehidupan. Perempuan ditugaskan mengurusi kebun yang telah
dibersihkan oleh laki-laki lalu mengurusi anak-anak, juga atas perekonomian
keluarga lalu menyajikan makanan dan itu pekerjaan sehari-hari, sedangkan porsi
nutrisi yang dikonsumsi olehnya lebih sedikit. Karena perempuan harus
mendahulukan lelaki dan anak-anak.
Mungkin kasus ini belum merepresentasi kehidupan perempuan Papua
pada umumnya, namun setidaknya sedikit menggambarakan tentang culture yang
belum menjadi solusi atas keutuhan hak-hak dasar perempuan Papua.
Di waktu yang bersamaan, masuklah para modal dan kekuasaan negara
Indonesia di Papua.Kehadiran mereka bukan membantu keberadaan
perempuan Papua, justru memberatkan perjuangan perempuan Papua dalam
meperoleh hak-hak dasar sebagai manusia.
Negara Indonesia justru sebagai agen untuk pemegang modal (kapitalis). Hadir
dan menghancurkan sistem masyarakat Papua. Buah dari kehancuran
sistem ini, signifikan salah satu korbannya adalah penindasan
terhadap perempuan Papua.
Adapun sejarah Indonesia yang hadir di Papua dengan
pendekatan militer. Ottow dalam MPE mengitup (di bawah
bendera revolusi Jilid I hal 427) dalam pidato pada tanggal 17 Agustus
1960,Soekarno mengatakan, “Maka adalah suatu keharusan bahwa kabinet kerdja
melaksanakan politik pembebasan Irian Barat (sekarang Papua) setjara
revolusioner menurut bahasa sendiri revolusi Nasional Indonesia”.
Lalu Ottow menuliskan bahwa persiapan militer bagi operasi
pembebasan Irian Barat mulai dilakukan dengan pengiriman delegasi ke berbagai
negara untuk melobi pembelian senjata(Ottow, 1998).
Selama tujuh tahun (1962-1969) Indonesia telah melakukan berbagai
tindakan kekejaman kemanusian sebelum, pada saat dan sesudah Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun1969. Terbukti akhirnya dalam proses
penentuan nasib sendiri pada tahun 1969, kekuatan militer Indonesia lebih
dominan dalam proses penentuan pendapat dan menghalalkan semua cara,
mengintimidasi rakyat dan akhirnya militer Indonesia memenangkan Pepera
tersebut (Wonda,2009).
Pendekatan militer ini tidak terhenti setelah Pepera dilakukan. Namun,
justru hingga hari ini ada banyak sekali pelanggaran Hak Asasi manusia (HAM) yang
terjadi akibat pendekatan militer.Perempuan pun menjadi korban kekerasan
fisik, mental dan seksual dari pendekatan militer.
Yang terjadi hingga sampai saat ini, perempuan Papua dalam
genggaman kekuasaan Negara sebagai agen kapitalis di Papua. Genggaman
inilah yang menurut saya, perempuan Papua terkurung dalam
pagar-pagar yang terbentuk.
Perempuan Papua Dalam Pagar
Kekuasaan Negara maupun pemegang modal menghancurkan tatanan kehidupan
masyarakatPapua, hal ini menyebabkan dampak buruk dialami anak dan
perempuan. Kekerasan seksual, fisik dan mental pun tak luput dan
terus terjadi hingga sampai saat ini.
Pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan Papua yang
berhasil direkam oleh International Coalition For Papua(ICP),
Rekomendasi LIPI dan KOMNAS HAM dari periode 2012-1014 (hal 54-56), sudah lebih
dari 1700 perempuan diwawancara mengenai pengalaman mereka dalam hal kekerasan, diskriminasi
dan marjinalisasi.
Disimpulkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah hal yang
menjadi tantangan hidup perempuan Papua hari ini. Kemudian menjadi
tantangan baru ketika dilaporkan ke polisi (pihak keamanan sipil). Namun,
jarang mendapat tanggapan yang baik karena pihak keamanan ini sering terlibat
dalam kekerasan tersebut.
Melihat keadaan seperti ini, yang mana jarang mendapat tanggapan
dari pihak kepolisian bahkan perhatian khusus. Dimungkinkan kasus KDRT terhadap
perempuan Papua terus terjadi namun tidak terdata.
Kasus poligami, penelantaraan, korban HIV/AIDS, diperlakukan seperti
budak itu dalam aktivitas rumah tangga, terpinggirkan aspek ekonomi dalam
berjualan di pasar dialami oleh beberapa perempuan Papua hari ini di tempat
yang berbeda.
Perempuan Papua adalah korban-korban dari tatanan hidup yang
dipaksakan hancur. Tidak didengar, disepelehkan, ditinggalkan menjadi
label yang diberikan pengusa negara dan pemegang modal kepada mereka. Tujuannya
agar kepercayaan diri, moral, daya juang dan kerja keras hancur lebur, karena
dianggap hak-hak dasar mereka lebih rendah dibandingkan
kepentingan-kepentingan kapitalis dan agennya.
Dalam film dokumenter Papuan Voice I, judulnya Surat Kepada Prada
menampilkan oknumTentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai subjek kekerasan
seksual. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan aparat, terbukti
ketika perempuan Papua diperkosa dan payu darah dipotongoleh oknum
aparat pada kejadian Biak Berdarah tahun 1998 (wawancara dengan Fillep
Karma pada pertengahan Agustus 2016).
Dalam International Coalition For Papua (ICP), Rekomendasi
LIPI dan KOMNAS HAM dari periode 2012-1014 dijelaskan juga mama Papua ditembak
dua kali setelah meminta aparat untuk mengehentikan penembakan dalam
sebuah kasus di Papua.
Pada 8 Desember 2014, mama Marci Yogi mengangkat tangannya
untuk meminta agar aparat keamanan menghentikan tembakan pada tragedy
pembunuhan empat siswa di di Lapangan Karel Gobay, Enarotali,
Paniai. Dua peluru menerjangnya.
Peluru pertama mengenai kitab suci yang diletakan di dalam
noken dan yang kedua mengenai tangan kiri mama.
Mama Yulita Edowai ditembak di kaki saat sedang berusaha
melarikan diri dari lokasi kejadian. Saksi Mama Agusta Degei yang berada
di kebun, antara lapangan Karel Gobai dan lapangan
Bandar udarah Paniai..
Kasus-kasus seperti ini sangat sering terjadi, namun karena
intimidasi dari aparat keamanan membuat perempuan-perempuan Papua memilih
diam dan menerima ini sebagai trauma yang tidak untuk diperdebatkan bahkan
dilawan.
Berdasaran diskusi kelompok dan wawancara oleh International
Coalition For Papua (ICP), Rekomendasi LIPI dan KOMNAS HAM, lebih
dari 1700 perempuan di seluruh wilayah Papua (2012-2014) ada tiga bentuk
marginalisasi dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan Papua, di
antaranya:
1. Peminggiran
perempuan papua dari sistem ekonomi
Faktor penyebab, pertama, kurangnya infrastruktur yang
menghubungkan perempuan ke pasar , kedua, transportasi yang mahal
membatasi akses ke masyarakat dan pasar dan ketiga, dominasi pedagang
non-papua di sektor ekonomi.
2. Pelemahan
identitas dan kemiskinan sebagai akibat dari hilangnya sumber daya alam.
Pengambilan atau perampasan sumber daya alam yang dilakukan oleh
investor yang bekerjasama dengan pemerintah nasional dan daerah mengakibatkan
masyarakat Papua kehilangan tanah dan sumber daya alamnya.
Bahkan aparat keamanan juga berperan penting dalam mendukung
pengalihfungsian lahan hutan. Misalnya di Kabupaten Keroom yang juga aparat
keamanan yang bekerja untuk melindungi kepentingan investor.
Keberadaan aparat mengancam keberadaan perempuan Papua karena
mereka dilarang untuk pergi ke hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Mereka dianggap bagian dari Operasi Papua Merdeka (OPM) jika pergi ke hutan.
Sedangkan identitas perempuan Papua seringkali terkait dengan tanah
dan alam, jadi masalah ini bukan terkait, makan dan minum serta mata pencarian
bahkan aset ekonomi namun tentang perampasan identitas diri perempuan Papua.
3. Kurangnya
partisipasi politik perempuan Papua
Keterlibatan politik perempuan Papua sangat terbatas karena
permasalahan ekonomi dan isolasi, bahkan 30 % kuota dasar perempuan hampir
tidak pernah tercapai di Papua.
Perempuan jarang sekali dilibatkan dan mengambil keputusan, baik dalam
konteks daerah maupun birokrasi. Permasalahan ini tidak dianggap penting bagi
partai-partai politik di Papua.
Dari rentetan kasus yang dilampirkan di atas, menunjukan bahwa
budaya patriarki, kehancuran tantanan masyarakat Papua yang dipaksakan
hancur, melalui kekuasaan kapitalis dan agennya (negara), seakan menjadi
pagar yang sangat kuat untuk mengurung dan mengisolasikan perempuan Papua.
Semakin hari jika pagar ini tidak digoyahkan, maka pagar itu akan terus
kuat. Semakain kuat pagar tersebut, maka semakin banyak perempuan Papua
yang memiliki hidup sia-sia karena rasa menerima ketertindasan dijadikan
budaya.
Semakin berbeda juga cara kita mendefinisikan perempuan Papua
dengan kondisi ketertinggalan seperti ini.
Penulis adalah mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta.
Pustaka:
Banawiratma, J, B. 2007. Perempuan ,
Agama dan Masa depan demokrasi. Lembaga study Islam dan politik: Yogyakarta (hlm.
5)
International Coalition Of Papua Team. 2015. Hak
asasi manusia di Papua 2015. laporan keempat yang meliput kejadian
sepanjang bulan april 2013 hingga desember 2016.
Kasniah, Naniek. 2006. Health risk of women on
production, distribution and consumption of food patterns, jayawijaya–Papua, Jurnal
Of humaniora Volume 18 Hal 1-6,Yogyakarta.
Ottow, 1998. Indonesia as state is an
accident of the ducth colonial history, sebagai negaraIndonesia terbentuk
akibat kecelakanaan sejarah penjajahan belanda. Establising a new state based
on a old colonialism and resuming neocolonialism.
Papuan, Voices I . 2012. Surat Cinta Kepada Prada.
Engage media: Yogyakarta
Philip J. Adlert, World
Civilization, 2000. (hal. 289)
Wawancara dengan Filep Karma, Saksi Hidup kejadian
Byak berdarah pada tanggal 6 Juli1998. Wawancara dilakukan di Asrama
Kamasan I Papua pada pertengahan Agustus 2016
Wonda, S. 2007. Jeritan bangsa rakyat
Papua Barat mencari keaadilan, Galang press: Yogyakarta
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.