Foto Karyawan West Papua yang sedang Beroperasi di Area PT Freeport. |
Julukan Frangky itu memang
satu gambaran komplet realitas Papua. Papua penuh susu dan madu yang
memberikan kehidupan. Alam yang indah, hutan dan biota laut yang kaya,
budaya dan bahasa yang beragam menjadi satu, milik manusia “Hitam kulit,
keriting rambut,” tulis Frangky, ras Melanesia.
Surga kecil tidak hanya menggambarkan kekayaan alam dan budaya yang terlihat, melainkan juga satu gambaran kecil dari yang tidak terlihat. Banyak yang terkubur dalam daratan luas dari Sorong (West Papua) sampai Samarai (Papua New Guinea). Batuan bahan tambang dan mineral tersimpang di perut bumi Papua.
Header advertisement
Kata para ahli, yang pasti Papua
mengandung emas, tembaga, uranium, gas bumi dan minyak bumi triliunan
barel. Masa habisnya mencapai puluhan tahun atau bisa mencapai ratusan
tahun nanti. Orang awam sulit memprediksinya.
Kita memang sulit
mematok waktu masa ekplorasi kekyaan alam Papua. Namun, kontrak karya
Freeport bisa menjadi ukuran masa habisnya. Kita ingat kontrak karya
pertama 1967 hingga 2022, namun Freeport telah memperpajang kontrak
dengan pemerintah Indonesia hingga 2042.
Kekayaan alam Papua yang berlimpah telah menjadi pengetahuan publik. Ahmad Dhani, musisi Indonesia dan kawan-kawan tim juri, menjuluki suara Nowela Auparay, kontestan Indonesia Idol 2014 sebagai “Suara Uranium dari Papua, dan Suara Emas dari Jayapura”. Begitulah para selebrita Indonesaia mengagumi alam Papua.
Nilai emas Papua itu tidak akan pernah lenyap
kecuali barang habis pakai. Gas bumi, minyak bumi dan barang mudah karat
atau habis pakai, misalnya. Di mana pun dan sampai kapan pun, emas
Papua tetaplah emas Papua. Walaupun terkubur dalam lumpur, air dan
feses sekalipun tetaplah nilai emas. Emas adalah emas.
A.Riawan
Amin dalam bukunya yang berjudul Satanic Finance True Conpirancies
menulis “Ia (emas) tidak bisa diubah dengan bahan kimia lain, emas tidak
berpengaruh dengan air dan udara. Emas tidak berkarat,”ungkapnya tegas.
Nilai emas yang tidak akan pernah lenyap itu menjadi incaran para pencuri dan perampok kekayaan alam kaum pribumi di seluruh dunia. Orang yang tidak memilik harta karun emas, alias pencuri sangat iri melihat emas, uranium, tembaga, minyak dan gas alam orang-orang pribumi yang lemah. Mereka menemukan diri mereka tidak mampu masuk ke dalam batasan-batasan wilayah orang-orang pribumi, termasuk di Papua.
Karena itu, Fredrik Nietzhe, dalam buku Genealogi Moral mengungkapkan, orang-orang yang tamak itu menciptakan bedil, hukum dan uang yang mampu menghipnotis, mengikis kekuasaan dan mengelabui pemilik harta karung emas dan uranium. Itulah yang dilakukan negara-negara besar di dunia.
Kita lihat saja, negara-negara membangun kekuatan hukum, finansial dan militer. Kita lihat mereka menciptakan uang kertas dengan alasan gampang dan budah dibawa-bawa dalam urusan pasar. Negara-negara Eropa meciptakan Euro. Amerika dengan kekuatannya menciptakan dolarnya yang menjadi ukuran pasar hampir seluruh negera di dunia, dan Indonesia menciptakan rupiah.
Uang yang mereka ciptakan itu lambat laut
menjadi bukti penipuan dalam pencurian kekayaan alam masyarakat yang
mereka datangi dan jajahi. “Lambat laun kami jadikan (uang) alat untuk
explorasi….kami hanya datang dengan modal mensin cetak uang tapi
akhirnya bisa menguasai hampir semua property dan kekayaan
masyarakat,”Riawan Amin menguraikan manfaat finansial.
Belanda,
Amerika dan Indonesia masuk ke Papua hanya dengan modal kekuatan
militer, mesin dan sistem.Mereka menerapkan sistem demokrasi dan
keadilan dan mengkampanyekan Hak Asasi Manusia. Mereka menerikan HAM
tetapi pelanggaran hak orang Papua mereka abaikan. Mereka malah tawarkan
solusi perang dan kematian menyebabkan bangsa-bangsa pribumi pemilik
harta karung takluk dan mengakui penipuan.
Ketika warga pribumi
tunduk dibawa kekuatan militer, alat manipulasi kepemilikan mereka
hamburkan. Mereka menghamburkan potongan kertas yang tidak bernilai
kepada pemilik emas. Orang Papua gengngam kertas Amerika, Eropa,
Indonesia dan melepaskan ribuan lahan harta karung, emas dan tembaga
dari genggaman.
Penipu masuk membabat habis hutan, membawa kayu
dan mengeruk isi perut bumi dan biota laut. Ribuan ton Emas, tembaga,
ribuan barel minyak dan gas tiap hari, penipu bawa ke negerinya, kepada
koleganya. Mereka menimbun kekayaan dan membangun gedung-gedung pencakar
langit. Simbol kekuasaan dan kekayaan mereka bangun.
Penipu menari-nari, berpesta pora dan menunjukan kekuasaan kepada dunia. Amerika menjadi negara adikuasa atau polusi dunia dengan peralatan cangih dibangun dari hasil pengerukan harta karung bangsa-bangsa di dunia. Indonesia membangun Jakarta, membangun satu kerja sama dengan Amerika berkat kontrak Freeport.
Penipu menari-nari, berpesta pora dan menunjukan kekuasaan kepada dunia. Amerika menjadi negara adikuasa atau polusi dunia dengan peralatan cangih dibangun dari hasil pengerukan harta karung bangsa-bangsa di dunia. Indonesia membangun Jakarta, membangun satu kerja sama dengan Amerika berkat kontrak Freeport.
Amerika dan Indonesaia saling
mengamankan kepentingan dengan mengadaikan alam Papua. Kita menyaksikan
sendiri, di sela-sela itu, orang Papua, pemilik harta karung emas, tidak
menerima yang baik, menikmati kebahagiaan dan kedamaian. Orang Papua
hanya tertipu dan menerima remah-remahhasil kekayaan alamnya, menerima
penderitaan. Simbol penindasan dan penjajahan.
Orang Papua yang menjadi karyawan sekalipun menerima siksaan dan membangun gubuk-gubuk penderitaan. Mereka mengabiskan waktu dan tenaga menghasilkan ribuan ton emas, ribuan dolar dan kebahagiaan pencuri yang penipu. Demi itu, mereka merelakan waktu rekreasi, meninggalkan keluarga berminggu-minggu hingga berbulan-bulan lamanya.
Orang Papua, yang berdiam di
lokasi sekitar, yang bukan karyawan pun, menjadi bagian dari korban.
Mereka hanya membangun gubuk, penderitaan, pikir dan pikir atas tuduhan
yang dilimpahkan kepada mereka, seperti Organisasi Papua Merdeka hingga
separatis. Mereka memikirkan perusakan alam, pencemaran tanah dan air
akibat limbah perusahaan. Hidup mereka makin terancam. Pikiran menguras
energi habis hanya untuk berpikir bagaimana harus keluar dari ancaman
itu.
Mereka pikir mungkin pemberontakan bersenjata. “Saya
memberontak maka saya ada,”kata Albert Camus, jurnalis dan filsuf
Prancis. Mereka melakukan pemberontakan dengan emosia merebut kembali
kekayaan alamnya, namun, pemberontakan mereka hanyalah sarana
kebahagian, menguntungkan yang mengamankan lokasi perusahaan. Dana
pengamanan makin menumpuk, korban terus berjatuhan. Penghabisan warga
pemilik dan penguasan wilayah harta karung terus bertambah dari waktu ke
waktu.
Masa penghabisan manusia. Orang Papua, mungkin, kini, ada
dalam posisi frustrasi, gila-gilaan dalam permainan kepentingan penipu
profesional dunia, menanti kematian yang menjemput di dusun-dusun dan
gubuk-gubuk di pingiran kota dan di kampung-kampung. Kalau pasrah, tidak
sadar dengan penipuan, memikirkan kebenaran adalah penipuan hari ini,
hilang sudah harapan hidup orang Papua di negeri sendiri.
Apakah memang harus menerima penipuan dan pencurian? Ataukah lebih baik memilih perlawanan bermartabat, dialog, menghindari penipuan, penguasaan, pencurian dan penghabisan? (Mawel Benny)