Pembantaian suku Aborigin oleh orang Inggris di Australia. Ils foto |
Bangsa pribumi Australia, Aborigin ini telah dilihat
sebagai satu spesies manusia yang tidak membangun oleh para pendukung teori
evolusi dan telah dibunuh beramai-ramai. Pada tahun 1890 Wakil Presiden Royal Society
di Tasmania, James Barnard, telah menulis: "proses pemusnahan ini adalah
satu prinsip evolusi dan 'yang kuatlah, yang terus hidup' yang telah diterima
umum". Oleh karena itu adalah tidak perlu untuk beranggapan bahwa
"telah berlaku kecualian yang buruk" di dalam pembunuhan dan
pencabulan terhadap orang-orang Aborigin Australia.
Hasil daripada pandangan rasialis, ganas, dan liar
yang telah dipupuk oleh Darwin ini, satu operasi pembunuhan beramai ramai telah
dijalankan untuk menghapuskan orang orang Aborigin. Kepala Aborigin telah
dipaku di pintu pintu stasiun oleh orang orang eropa "tamu tak diundang
itu". Roti beracun telah diberikan kepada keluarga keluarga Aborigin. Di
kebanyakan kawasan kawasan Australia, kawasan penempatan Aborigin telah
dihapuskan dengan cara yang ganas dalam masa 50 tahun.
Pembantaian suku Aborigin oleh orang Inggris di Australia. Ils foto |
Museum museum ini tidak hanya berminat dengan tulang
tulang mereka, tetapi dalam masa yang sama mereka juga menyimpan otak kepunyaan
orang orang Aborigin ini dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Terdapat juga
bukti yang menunjukkan bahwa orang orang Aborigin ini juga dibunuh untuk
digunakan sebagai speimen. Fakta dibawah membuktikan keganasan ini.
Memori sebelum mati dari Korah Wills, yang telah
menjadi walikota Bowen, Queensland pada 1866, telah menceritakan bagaimana dia
telah membunuh dan memenggal seorang penduduk asli pada tahun 1865 untuk
mendapatkan spesimen sains. Edward Ramsay, pegawai kurator Australian Museum di
Sydney sejak 20 tahun dari tahun 1874, juga ikut terlibat. Beliau telah
menerbitkan sebuah risalah yang memasukkan Aborigin di bawah tajuk
"hewan-hewan Australia". Ia juga memberikan panduan tidak hanya
bagaimana hendak merompak kubur, tetapi juga bagaimana untuk mencabut peluru
daripada daging "spesimen" yang telah dibunuh.
Seorang pendukung teori evolusi dari Jerman, Amalie
Dietrich (digelar juga 'Angel of Black Death') telah datang ke Australia dan
bertanya kepada pemilik-pemilik stasiun tentang Aborigin untuk dibunuh demi
mendapatkan spesimen, selalunya kulit mereka dijadikan sebagai sarung pelapik
dan rangka untuk majikan museumnya. Walaupun, pernah dihalau sekurang-kurangnya
sekali, tetapi dalam masa yang singkat beliau telah kembali bersama
spesimennya.
Seorang missionaris di New South Wales adalah saksi
atas penyembelihan oleh polisi atas berlusin-lusin orang Aborigin, baik lelaki,
perempuan dan anak-anak. Empat puluh lima kepala telah dididihkan dan 10
tengkorak yang sempurna telah dibungkus untuk dikirim ke luar negeri.
Eksperimen ke atas orang-orang Aborigin ini terus berkelanjutan hingga abad
ke-20. Di antara metode yang digunakan di dalam eksperimen ini ialah pemisahan
secara paksa anak-anak Aborigin dari keluarga mereka. Cerita baru oleh Alan
Thornhill, yang telah muncul di dalam edisi 28 April 1997 Philadelphia Daily
News, telah menceritakan dengan panjang lebar tentang metode ini yang digunakan
untuk menentang Aborigin.
Pembantaian suku Aborigin oleh orang Inggris di Australia. Ils foto |
Antara tahun 1910 sampai 1970-an, kira-kira 100.000
anak-anak Aborigin telah diambil daripada orang tua mereka. anak-anak Aborigin
yang berkulit cerah itu akan diberikan kepada keluarga-keluarga kulit putih
sebagai anak angkat. Kanak-kanak berkulit hitam pula menjadi yatim piatu.
Sehingga kini, kepedihannya amat dahsyat sehinggakan
kebanyakan cerita-cerita telah dicetak secara diam-diam di dalam laporan akhir
lembaga tersebut, "Bringing Them Home". Lembaga tersebut menyatakan
bahwa tindakan yang dilakukan ketika itu adalah bersamaan dengan pemusnahan
bangsa seperti yang digambarkan oleh PBB. Pemerintah Australia telah menolak untuk
mengikuti penyelidikan yang akan dilakukan dimana sebuah dewan telah dibentuk
untuk menilai pembayaran ganti rugi untuk anak-anak Aborigin yang diculik.
Seperti yang kita lihat, layanan tidak
berperikemanusiaan ini, pembunuhan beramai-ramai, keganasan, kebuasan, dan
pemusnahan yang dilakukan telah dijusfikasikan oleh Alkitab, juga berpegang
pada tesis Darwin tentang "pilihan langsung", "perjuangan untuk
terus hidup", dan "'yang kuatlah, yang terus hidup'". Segala
penyiksaan yang dialami oleh orang-orang asli Australia ini hanyalah sebagian
kecil daripada malapetaka yang dibawakan oleh Inggris dan Darwinisme kepada
dunia. Yang pasti, Inggris telah melakukan pembunuhan dan penekanan terhadap
ribuan penduduk asli benua Australia, suku Aborigin dan suku Maori (New
Zealand).
Diskriminasi terhadap penduduk asli yang jumlahnya
sudah menyusut jauh tersebut masih terus berlangsung sampai saat ini. Ironis
memang, "si empunya rumah" (penduduk asli) justru menjadi tamu di
negerinya sendiri, dan kaum pendatang yang bengis-bengis itu justru telah
menjadi "si tuan rumah".
Di dalam buku beliau The Origin of Species Darwin
melihat penduduk asli Australia dan negro sebagai makhluk mkhluk yang sama
taraf dengan gorilla dan mengatakan bahwa bangsa bangsa ini akan lenyap.
Sementara bagi bangsa bangsa lain yang dilihatnya sebagai "bermartabat
rendah", dia menegaskan bahwa perlu untuk menyekat mereka supaya bangsa
bangsa ini pupus. Oleh karena itu, laluan rasisme dan diskriminasi yang msaih
wujud hingga hari ini, telah disahkan dan diterima oleh Darwin dengan cara ini.
Memang sungguh malang sekali nasib bangsa Aborigin.
Mereka adalah bangsa asli pemilik sah benua Australia. Namun ketika orang-orang
itu menerobos masuk Australia, bangsa Aborigin yang tidak memiliki senjata itu
telah diperlakukan secara sangat tidak manusiawi. Di mata Inggris, Aborigin
tidak lebih daripada hewan liar yang mesti diburu dan dibunuh. Tangan
orang-orang Inggris benar-benar berlumuran darah ketika mencaplok Australia.
Bangsa Aborigin terpaksa menerima proses "civilized" dan
"cultured" yang diterapkan oleh penjajah Inggris. Captain Arthur
Phillip memperhitungkan, kira-kira 1.500 bangsa Aborigin di sekitar Sydney di
tahun 1788. Akan tetapi angka tersebut merosot tajam kepada kurang dari 200
orang yang hidup tahun 1830-an.
Carles Darwin yang berkelana ke Australia tahun 1836,
masih sempat menyaksikan angka tragis itu. Kunjungan Charles Darwin kononnya
membawa misi humanitarian untuk menyelamatkan dan memelihara keturunan Aborigin
supaya tidak musnah, akan tetapi realitas yang terjadi adalah, mereka diburu
oleh orang-orang Inggris seperti binatang buas. Mereka juga diperkosa, serta
perkampungan mereka dibakar dan dihanguskan oleh orang-orang Inggris itu.
Beberapa tahun kemudian, bangsa Aborigin tersisa hanya
beberapa orang saja lagi di jalan Sidney, hidup sebagai manusia yang hina di
tanah airnya sendiri dan tidak memiliki lagi masa depan. Kenangan ini
dilukiskan Darwin sbb: "Dimana saja-Orang Eropa telah menyakiti hati
sepanjang masa, membunuh. Memburu orang Aborigin menjadi kebanggaan sebelum
mati. Kita bisa menyaksikan dengan jelas merata tempat di Amerika, Polynisia,
Cape dan Australia, ternyata sama hasilnya…"
Sesudah mobilitas politik Inggris mapan, barulah pada
pada tahun 1831, kepada bangsa Aborigin yang berdomisili di wilayah Tasmania,
dipaksa menerima Hukum Perkawinan made-in British. Bagaimanapun bangsa Aborigin
menolak, sebab mereka juga memiliki hukum perkawinan mengikut budaya dan
kepercayaannya sendiri. Sebagai balasan kepada mereka yang menolak, mereka
dikapalkan ke sebuah pulau di Bass Strait. Tragis sekali, dalam jangka masa
satu tahun saja, jumlahnya kurang dari 50 orang lagi yang tinggal. "Theylast
pure-blooded Tasmanian died in 1876″.
Diatas kejadian itu Charles Darwin ketika mengunjungi
Tasmania berkata "Aku takut bahwa disana ada keraguan bahwa kereta
kejahatan/iblis ini dan konsekuensinya dimulai didalam perlakuan buruk yang
dilakukan oleh orang orang kita.
Di Maralinga, suatu negeri dimana bangsa Aborigin
menetap di sana. Inggris telah melakukan ujian bom atom. Laporan daripada
"Ujian ini pada umumnya telah memungkinkan sekali terjadinya pertambahan
jumlah penderita penyakit cacar diantara orang Australia sendiri, kalangan
Aborigin yang berdekatan dengan lokasi dan secara langsung ribuan dari pekerja
dan orang sipil juga ikut merasakan akibat daripada ujian tersebut"
Begitulah arogansi dan keangkuhan penjajah Inggris
ketika itu untuk melucuti bangsa Aborigin melalui metode 'civilized' dan
'cultured' yang dilaksanakan Inggris. Ketika kulit putih datang pertama kalinya
pada tahun 1788, Sydney ibarat sebuah museum raksasa Aborigin berisi sekitar
10.000 batu ukiran dan beragam karya kesenian lainnya. Baru sebagian saja
peninggalan itu digali dan ditemukan, yang lainnya menjadi korban vandalisme
kulit putih. Belum lama ini, salah satu karya dihancurkan cuma karena tempat
itu dijadikan lapangan golf. Dalam versi pemerintahan Australia kulit putih,
orang orang Aborigin yang dikolonialisasi itu adalah rakyat yang bermusuhan dan
tidak beradap. Akan tetapi, bagi Aborigin kedatangan penjajah putih itu
mengawali sebuah invasi dan penghancuran yang tak habis habisnya bagi
kebudayaan mereka.
Jadi tak bisa dipungkiti lagi, ribuan orang Aborigin
telah dibunuh secara kejam oleh orang-orang eropa tersebut, atau mati karena
berbagai penyakit menular. Sebagian diculik, lalu dibawa ke Inggris untuk
dihukum mati. Lebih mengerikan lagi, di dalam masyarakat mereka hanya digolongkan
bersama binatang dan tumbuhan, dan baru memperoleh kewarganegaraan tahun 1967.
Sebagian lagi wajib mengenakan "kalung anjing" sebagai tanda
pengenal.
Australia juga menerapkan Undang-Undang Kesejahteraan
Nasional (National Welfare Act), yang mengesahkan pemerintah memisahkan anak
Aborigin dari orang tuanya. Akibat UU tersebut, dari tahun 1910 sampai 1970,
sedikitnya 100.000 anak Aborigin yang pada umumnya berasal dari ayah atau kakek
berkulit putih, terpisah dari orang tuanya. Anak Aborigin itu ditempatkan di
panti asuhan yang disubsidi pemerintah. Biasanya, yang berkulit sedikit terang
diadopsi keluarga kulit putih Australia. Mereka yang berkulit gelap biasanya
akan menghabiskan masa kanak-kanak mereka di panti asuhan dengan sedikit atau
tanpa pendidikan memadai. Pemerintah Australia menganggap kebijakan itu sebagai
kebijakan kemanusiaan untuk mengangkat harkat bangsa Aborigin. Dalam
kenyataannya, kebijakan itu mengeliminasi jumlah orang Aborigin, yang berada di
Australia sejak 60.000 tahun silam.
Yang diharapkan oleh orang-orang Inggris ini adalah,
keturunan asli Aborigin akan meninggalkan habitat mereka, kemudian musnah
karena meninggal akibat penyakit atau tingkat kelahiran rendah. Rencana ini
hampir berhasil. Populasi Aborigin di Australia terus menyusut dari sekitar
60.000 jiwa pada tahun 1870-an menjadi tinggal 20.000 jiwa pada dasawarsa
1930-an. Diskriminasi terhadap bangsa Aborigin itu sampai kini masih terus
berlangsung. Agaknya, bagi orang-orang Australia, daripada harus mengakui
kesalahan sendiri, mereka lebih suka menjadi "ksatria kulit putih"
bagi orang Timtim, sepupu dekat bangsa Aborigin.
Kini mereka juga ingin menjadi
pahlawan kesiangan "SEAKAN-AKAN mereka tidak berlumuran darah orang
Aborigin yang mereka bantai" kepada orang-orang Papua (Irian) di
Indonesia.
Sumber: onthespotv7.com