Direktur Elsham Papua, Ferry Marisan. |
JAYAPURA, PACERRIBO - Lembaga Studi Advokasi
Hak Asasi Manusia ELSHAM Papua menilai Menteri Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan Wiranto merendahkan Undang-undang yang melindungi hak asasi manusia.
Direktur ELSHAM Papua Ferry Marisan mengatakan pernyataan Wiranto yang akan
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Papua lewat jalur nonyudisial meremehkan
Undang-undang Hak Asasi Manusia Nomor 39/1999 dan Undang-undang Pengadilan HAM
Nomor 20/2000.
Ferry
Marisan mengatakan kasus pelanggaran HAM di Papua tidak bisa diselesaikan lewat
jalur nonyudisial karena tidak ada dasar hukumnya. Di samping itu, kasus
pelanggaran HAM di Papua sudah jelas dilakukan oleh anggota TNI, dengan korban
dan saksi yang jelas.
"Ini
merendahkan Undang-undang kita. Nomor 26/2000 dan 39/1999. Itu sesuatu
pernyataan yang meremehkan hukum di negeri ini. Juga pernyataan yang membela
diri. Tentara tidak mau dihukum, padahal pelakunya jelas tentara. Dia tidak
boleh merendahkan begitu. Dan dasar hukumnya apa? Tidak ada dasar hukum
nonyudisial," kata Ferry Marisan kepada KBR, Jumat (7/10/2016).
Direktur
ELSHAM Papua Ferry Marisan juga mengecam pernyaan Wiranto yang terkesan ingin
melindungi anggota TNI pelanggar HAM. Menurut Ferry Marisan, selama ini proses
hukum kasus pelanggaran HAM Papua sulit karena petinggi TNI melindungi pelaku
dan menutup diri menolak diperiksa Komnas HAM.
"Yang
sulit itu, tentara tidak mau buka mulut bahwa mereka pelakunya. Sudah diketahui
oleh saksi, masyarakat, bahwa orang itu pelakunya. Tapi ditutup-tutupi
atasannya. Itu sulit ditembus Komnas HAM. Kasus Paniai berdarah tahun 2014, itu
bukti tentara tidak mau diperiksa Komnas HAM. Mereka menutup diri," lanjut
Ferry Marisan.
Ferry
Marisan juga juga menyoroti posisi Wiranto sebagai Menteri Pertahanan pada 1998
ketika terjadi peristiwa Biak Berdarah. Saat itu tentara menembaki warga yang
hendak mengibarkan bendera Bintang Kejora di atas menara air di Biak. Setahun
setelah kejadian, ELSHAM Papua bersama gereja-gereja di Papua menerbitkan
laporan berjudul “Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama”.
Laporan
itu menyebutkan sejumlah temuan korban tewas, luka dan hilang misterius.
"Rakyat
Papua selama Orde Baru dibungkam, tidak boleh bersuara. Begitu di Orde
Reformasi, Soeharto jatuh, mereka menyatakan ini saatnya kita suarakan hak.
Pengibaran bendera Bintang Kejora itu supaya negara mendengarkan suara mereka.
Tapi bukan berarti hari itu Papua akan merdeka, sehingga ditangani dengan
kekerasan. Tidak. Itu pola penanganannya yang salah," kata Ferry.
Ferry
melanjutkan, "rakyat tidak bersenjata, hanya bernyanyi, di bawah tower,
lalu ditembak. Memang pengibaran bendera itu pelanggaran hukum terhadap
kedaulatan, karena mau merdeka. Tapi cara penanganannya yang salah. Tidak bisa
ditangani dengan kekerasan. Mereka rakyat sipil. Negara yang bertanggung jawab
melindungi rakyat, malah membunuh rakyat. Wiranto waktu itu menjadi menteri
pertahanan."
"Orang mati, orang diperkosa, orang hilang. Apa itu
bukan pelanggaran HAM? Mereka dikatakan berideologi papua merdeka. Tetapi
mereka ini warga Indonesia. Solusinya ada di pemerintah pusat, bukan tentara
datang menembak orang sampai mati," kata Ferry. (Sumber: tabloid-wani.com)
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.