Filep Karma (Foto: Eben E. Siadari) |
JAKARTA, PACEKRIBO
- Filep Jacob Semuel Karma, mantan tahanan politik karena memperjuangkan
kemerdekaan Papua dan dibebaskan oleh Presiden Joko Widodo tahun lalu,
mengatakan rakyat Papua tidak menuntut merdeka dari Indonesia melainkan
menuntut referendum. Jika hasil referendum itu mengatakan rakyat Papua
bergabung dengan Indonesia, rakyat Papua harus konsekuen menerimanya.
Demikian
pula sebaliknya.
Hal itu ia
katakan dalam konferensi pers di kantor Setara Institute, Jakarta, hari ini
(25/10). Ia mengatakan hal itu menjawab wartawan yang menanyakan apakah
tuntutan merdeka merupakan keinginan seluruh rakyat Papua atau hanya segelintir
saja.
"Untuk
mengetahui apakah itu merupakan tuntutan segelintir rakyat atau seluruh rakyat,
maka adakanlah referendum," kata Filep Karma sambil tersenyum. Di dadanya,
tersemat sebuah bendera mini Bintang Kejora seukuran kartu nama.
"Kalau
mayoritas rakyat Papua memilih bersama NKRI, berarti kami akan berhenti
berjuang. Sebab selama ini juga kami berjuang untuk rakyat Papua. Jika mereka
mengatakan bergabung dengan NKRI berarti marilah kita membangun bersama. Jadi
pembuktian segelintir atau tidak, mari adakan referendum," kata dia.
Filep Karma
ditangkap dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara karena pada 1
Desember 2004, ia ikut mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sebuah upacara
di Jayapura. Karena tindakannya itu, ia dituduh melakukan pengkhianatan kepada
negara dan dihukum penjara selama 15 tahun. Amnesty International dan Human
Rights Watch melayangkan protes atas penahanannya dan Amnesty International
menetapkan Filep Karma sebagai tahanan keyakinan.
Pada 19
Oktober 2015, Presiden Joko Widodo membebaskannya setelah menjalani hukuman 11
tahun.
Filep Karma
sendiri menolak pembebasannya itu sebagai grasi. Ia mengatakan tidak pernah
meminta grasi kepada Jokowi.
Pada jumpa
pers itu, Filep Karma kembali menegaskan alasan mengapa dirinya memperjuangkan
penentuan nasib sendiri Papua. Menurut dia, Papua dan Indonesia memiliki
sejarah politik yang berbeda.
"Belanda
masuk ke Indonesia karena perdagangan. Belanda masuk ke Papua untuk mengabarkan
Injil. Jadi Papua mulai mengenal peradaban modern diawali oleh Injil,"
tutur dia.
Dia
menambahkan, di masa pendudukan Belanda, ekonomi Papua lebih baik dibanding
Indonesia. Bahkan mata uang Papua lebih tinggi nilainya.
Belanda
dalam memerintah di Papua, kata dia, beradaptasi dengan kebudayaan dan cara
hidup setempat. Sebaliknya, ketika Indonesia masuk ke Papua, ia mengklaim
militer melakukan penjarahan aset-aset yang ditinggalkan Belanda.
"Selama
Belanda menduduki Papua, hanya seorang Papua yang mati dibunuh, itu pun karena
dia menembak Kepala Pemerintah Setempat (KPS). Setelah RI masuk ke Papua,
secara kasar saya perkirakan ada 100 ribu orang Papua yang tewas," kata
dia.
Ia juga
menjelaskan sejarah versi dirinya yang didasarkan pada sejumlah buku sejarah.
Menurut dia, sebelum Indonesia merdeka, tokoh Papua sudah mengangkat senjata
melawan Jepang.
"Pada
tahun 1944 rakyat Papua sudah melihat bahwa mereka bisa merdeka. Ketika itu
tentara Sekutu sudah masuk ke Papua. Rakyat Papua melihat orang-orang kulit
hitam dari AS dapat menyetir mobil, menerbangkan pesawat. Dan rakyat Papua
waktu itu sudah berkata suatu hari nanti saya akan begitu," ia
menambahkan.
Selanjutnya,
kata dia, pada tahun 1960-1961, rakyat Papua telah membentuk parlemen untuk
Papua. Pada saat itu lahir Komite Nasional Papua, yang menetapkan bendera dan
lagu kebangsaan Papua.
"Jadi,
kalau rakyat Papua menuntut referendum bukan karena kesejahteraan tetapi karena
sejarah yang berbeda," kata dia.
Kendati
demikian ia menegaskan kembali kalau hasil dari referendum mengatakan bahwa
rakyat Papua ingin bersama Indonesia, maka dirinya akan menerimanya.
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.