Pares L Wenda.
|
PACEKRIBO - Dalam sebuah perjuangan pasti ada akhirnya, tidak perduli
kapan dimulai sebuah perjuangan itu. Sejarah bangsa Papua mencatat bahwa
perjuangan rakyat Papua telah mencapai usia yang ke 50 tahun lebih.
Bangsa
Israel diperbudak di Mesir lebih dari 3 abad dan mereka menemukan agin
kebebasan ketika Musa memimpin mereka keluar dari tanah Mesir. Indonesia
dijajah juga kurang lebih tiga setengah abad juga mendapat kebebasan penuh pada
17 Agustus 1945 sebagai momentum kebebasan bangsa Indonesia. Dari dua
pengalaman di atas kita patut akui dan mencatat bahwa sebuah perjuangan pasti
ada akhirnya. Saya prediksi momen yang dinantikan (oleh rakyat Papua) itu akan
tiba 5 sampai 10 tahun yang akan datang.
Analisis Agenda Indonesia untuk Papua Vs
Agenda ULMWP untuk Papua
Indonesia tentu beranggapan bahwa semua orang yang
berjuang Papua Merdeka adalah musuh Negara dalam tanda kutip. Sebaliknya ULMWP
dan organisasi jaringan pro demokrasi yang berjuang gigi untuk Papua Merdeka
memandang semua orang yang berjuang Papua tetap ada di dalam NKRI adalah musuh
mereka, dalam tanda kutip. Dalam tanda kutip artinya paradox ini tidak
selamanya benar. Karena di zaman penjajahan Belanda terhadap Indonesia pun,
banyak orang Belanda yang setuju Belanda keluar dari Indonesia dan membantu
proses perjuangan Indonesia merdeka. Demikian juga dengan Jepang.
Pemerintah Indonesia berada dalam dua perspektif yang
tajam dan keduanya sulit disatukan. Diamana ada yang memang setuju Papua
lepas dari Indonesia tetapi tidak mau jujur seperti Ulil Abrar, tetapi adapula
yang tidak setuju. Tentu yang setuju Papua dalam Indonesia berfikir banyak hal
untuk Papua tidak merdeka, namun Pemerintah juga sedang berfikir bagaimana
caranya meyusup dalam agenda kerja musuh untuk menuju referendum atau dialog.
Salah satu agenda kerja yang saya kira mereka sudah,
sedang dan terus akan dilakukan adalah mengurangi populasi penduduk asli
pribumi. Berbagai pendekatan sudah dilakukan sejak Papua diintegrasikan ke
dalam Indonesia. Modus akhir-akhir ini yang kita ikuti adalah pembunuhan tabrak
lari, melahirkan dengan cara operasi (kebanyak ibu-ibu Papua), minuman oplosan,
mingrasi non Papua pake Kapal Putih dan Pesawat Boeing yang masuk ke Papua dan
berbagai pendekatan lain. Kalau hal itu sudah mencapai target yang ditentukan,
tentu langka berikutnya adalah melakukan sensus penduduk untuk memastikan
bahwa telah mencapai target maksimal pengurangan etnis Papua asli.
Menimal menggenapi pridiksi Universitas Sydney dan Yale
University tentang genosida di Papua. Dan jika belum tentu referendum atau
dialog juga tidak disetujui, sebaliknya jika sudah dipastikan terjadi
pengurangan papulasi penduduk Papua dan terjadi peningkatan populasi non Papua
di Papua maka peluang Indonesia setuju salah satu opsi dengan berani menyetujui
Referendum atau dialog dengan ULMWP sebagai representasi perjuangan rakyat
Papua menuju pembebasan semakin terbuka.
Meskipun banyak pihak mungkin akan mengatakan bahwa tidak
perlu minta inji dari Indonesia, tetapi fakta Pembebasan Timor Leste atas
persetujuan Presiden Habibi dan Perundingan Aceh/GAM dan Indonesia atas
kesediaan Presiden SBY dan untuk Papua pasti juga aka nada persetujuan dari
Pemerintah Indonesia apakah itu referendum atau dialog, kecuali atas desakan
PBB mendorong beberapa Negara Eropa timur bekas Negara Uni Soviet diakui
sebagai berpemetintah sendiri (self-governing). Dalam urusan apapun tentang
Papua Indonesia pasti dilibat dan diminta pertanggungjawaban moralnya atas
semua pelanggaran HAM yang terus terjadi slowly burt surly pelanggaran HAM menjadi kebiasaaan
sehari-hari di Papua dengan berbagai modus.
Sementara di pihak ULMWP dan organiasi gerakan
perjuangan Papua merdeka tentu berfikir terbalik, dan mereka tidak mungkin
masuk dalam agenda kerja Indonesia untuk Papua apakah itu untuk pembangunan
atau untuk melakukan pembalasan terhadap proses pemusnahan yang sudah dan
sedang terjadi. Saya menduga mereka akan serahkan pembalasan dipadang sebagai
hak Tuhan untuk membalas kejahatan setimpal baik pelaku terhadap keluarganya,
dan juga sebagai Negara yang bernama Indonesia.
Karena itu saya memandang ULMWP dan jaringan pendukungnya
akan mendorong ULMWP menjadi anggota penuh MSG, PIF, PIDF, mendaftarkan Papua
ke dewan dekolonisasi PBB, mempengaruhi dan menggalang sejumlah Negara-negara
pendukung Papua merdeka untuk berbicara di forum PBB seperti 7 negara lainnya
di Pacifik yang sudah menyatakan keprihatinan mereka terhadap isu HAM di Papua
Barat. Tentu jika tidak menginginkan penurunan populasi etnis Papua yang terus
berlangsung langka ULMWP dan jaringannya hendaknya didukung penuh baik di
Indonesia yang pro demokrasi dan pembebasan dan dukungan secara global.
Hal ini penting karena sama seperti dukungan Indonesia
terhadap isu pembebasan Palestina, tentu Negara lain juga konsen terhadap
pembebasan Papua, sekiranya proses seperti itu wajib dihormati. Tidak atas nama
kedaulatan (sovereignty) menolak intervensi negara lain terhadap isu Papua.
Tetapi di saat yang sama mendukung Palestina dengan mengabaikan kedaulatan
Israel. Namun kita patut akui perjuangan rakyat Palestina untuk pembebasan atas
penjajahan yang mereka alami dan perjuangan rakyat Papua untuk pembebasan pula.
Perjuangan Palestina atas pendudukan Israel di atas tanah leluhur mereka, dan
pendudukan Indonesia terhadap tanah leluhur bangsa Papua (Melanesia).
Perjuangan yang sama, beda proses sejarah perjalanan perjuangan rakyat. Satu
hal yang penting adalah Tuhan selalu berpihak kepada mereka yang berjuang dalam
kelemahan.
Tindakan
PBB dan Masyarakat Internasional untuk Papua
Dunia dan PBB tidak ingin menyatakan penjesalan di masa
mendatang atas proses slow
motion genocide di
Papua, maka cara yang bermartabat, elegan, manusiawi, jujur, adil maka
masyarakat Internasional wajib mendorong pemerintah mereka untuk mengangkat isu
Papua di level kenegaraan, level kawasan seperti negara-negara kawasan Asia
Tenggara juga harus bicara, ini masalah universal tentang kemanusiaan, dan di
PBB. Opsi mendaftar masalah Papua di dewan kemanan PBB merupakan satu opsi yang
tepat dan penting. Dan partisipasi negara-negara lain untuk bicara di sidang
umum PBB tahun depan dari tujuh negara menjadi lebih dari itu juga sangat
bagus. Sehingga di tahun-tahun berikutnya Negara-negara yang mempunyai hak veto
di PBB pasti dan akan berbicara.
Indonesia menyangkal tentang tuduhan pelanggaran HAM, itu
hak mereka, tetapi bahwa kami yang hidup di atas tanah dan negeri kami ini
menyaksikan mingrasi yang terus terjadi dan terus bertamba populasi orang non
Papua di Papua, pembunuhan sistematis melalui berbagai modus, salah satunya
yang trend sekarang adalah modus tabrak lari
terjadi di hampir seluruh Papua dan anda bisa menyaksikan hal itu di Media
Sosial. Pembunuhan aktifis mama-mama Papua seperti Rojit alias Robert Jitmau
adalah satu contohnya. Kiranya penderitaan ini berakhir segera, dan opsi
seperti ini, tidak terjadi.
Penulis adalah
Sekretaris Baptis Voice atau Komisi Ham Gereja Baptis Papua dan Anggota Ketua
Pemuda Gereja Baptis Se Dunia.
0 comments:
Post a Comment
Gunakan kata-kata yang baik, sopan dan santun.
Dilarang keras Komentar yang berbau SARA, Pornografi, Pelecehan dan Kekerasan.
Orang Pintar Pasti Komentar Yang Berkualitas.